Pura Pebini - Catur
 
1 Padmasana
2

Gedong Penyimpenan
Linggih Betara Wisnu

3

Gedong
Linggih Betara Pucak Penulisan

4 Gedong
Pelinggih Betara Ulun Danu Batur
5 Gedong
Pelinggih Betara Ulun Danu Beratan
6 Tepasana
7 Pasamuan
8 Ngerurah
9 Pangaruman
10 Palinggih Dasar
11 Bale Kulkul
12 Bale Gong
13 Apit Lawang
14 Apit Lawang
15 Pelinggih Lebuh
16 Candi Bentar
17 Pemuar
18 Pangayengan
19 Pelinggih Pajenengan Taru
A Sanggar Tawang
B Panyawang/ Pancaka Tirta
C Sanggar Tutuan Pengalang Sasih
D Sanggar Ageng Taru
E Linggih Bagia Pulakerti
F Panggung Karya
G Linggih Batara Parampean/ Dadia
H Panegtegan

I

Sanggar Agung Paselang
J Paselang
K Pawedaan
L Panggungan Caru
M Perayungan
 
  Pura Pebini - Desa Pakeraman Catur, Bangli.
 
Letak Pura Pura ini terletak di desa Catur, kecamatan Kintamani, Bangli
Data Penglingsir Pura  
Piodalan / Pujawali / Patoyan  
Sejarah Pura Mohon masukan dari semeton babadbali.com di mana saja berada melalui kelian @ babadbali.com atau kepada para pengelingsir Pura.
  Sekelumit Ttg Pembauran Warga Tionghoa di Desa Catur, Kintamani - Bali.
 

Oleh : I Ketut Subagiasta - IHDN Denpasar

Desa Catur terletak di tengahtengah antara pegunungan Penulisan, Batur, Catur, dan pegunungan Mangu, yang sebelah-menyebelah di antara tiga kabupaten di Bangli, yakni Badung, Buleleng, dan kabupaten Bangli. Lokasi Desa Catur tepatnya berada ke arah barat laut dari kota kecamatan Kintamani yang jaraknya lebih kurang 15 km. kemudian dengan kota Bangli jaraknya 36 km. sedangkan jaraknya dengan kota Denpasar sekitar 76 km. Nama Desa Catur diambil dari nama pegunungan Catur yang berada di arah barat Desa Catur lebih kurang 5 km tidak jauh dari banjar Mungsengan yang merupakan salah satu banjar Pakraman yang ada di wilayah Desa Pakraman Catur.

Wilayah Desa Catur terbagi menjadi tiga dusun dan tiga banjar pakraman, yaitu banjar pakraman Mungsengan, banjar pakraman Catur dan banjar pakraman Lampu. Bila melintas dari arah Puncak Penulisan ke arah barat laut, maka dilewati Desa Catur yang sangat subur dan hijau dengan tanaman perkebunan. Dari arah desa Catur tersebut bisa menuju wilayah Buleleng, tepatnya di wilayah Desa Sekumpul, Desa Lemukih, dan Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng. Juga dari arah Desa Catur ke barat dapat menuju ke Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Menurut penuturan tokoh Desa Pakraman Catur dari etnis Bali yakni I Nyoman Suweta dan Li Giok Tian salah seorang tokoh atau kelihan tempek masyarakat Tionghoa Desa Catur, bahwa keberadaan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Catur sudah turun-temurun sejak dahulu. “Nenek moyang saya memang lahir secara tururitemurun di desa Catur”, demikian penuturan Li Giok Tian ketika ditemui di Balai Banjar Pakraman Lampu baru-baru ini. Tidak dirinci secara pasti sejak kapan, atau sejak abad ke berapa etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat asli (Hindu) di Desa Catur. Ada dinyatakan bahwa diperkirakan sejak jayanya kerajaan Karangasem saat dulu, yang melakukan kunjungan ke tanah Cina untuk melakukan pinangan gadis Cina, sekaligus mengajak pasukan pengaman dari orang Cina yang ditempatkan di perbatasan wilayah kerajaan Karangasem yang berada di daerah banjar Mungsengan sebagai salah satu banjar di Desa Pakraman Catur.

Konon sejak itu bahwa mayarakat etnis Tionghoa pada awalnya yang hanya berjumlah 11 orang, yang ditugasi sebagai pasukan tangguh untuk menjaga batas wilayah Bangli, Badung dan Buleleng dan hingga kini akhirnya menetap di Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani sudah mencapai lebih kurang 70 kepala keluarga atau sekitar 350 jiwa, dengan profesi pokok sebagai petani, dan pengusaha. Bagi etnis Tionghoa yang telah menyatu dengan krama asli Desa Catur, lebih menyukai berprofesi sebagai petani, terutama berkebun, beternak, dan membuka usaha rumah tangga, seperti layaknya dengan masyaraka asli Desa Catur. Tetapi ada sebagian etnis Tionghoa yang telah maju dalam usaha dan memiliki modal yang memadai kemudian urban ke kota Denpasar membuka usaha penjualan sepeda motor, seperti “ Toko Hero” yang ada di Denpasar.

Ada keunikan bagi etnis Tionghoa di Desa Catur yang patut disimak sesuai penuturan Li Giok Tian bahwa status agamanya adalah beragama Hindu, hal itu dibuktikan dengan tatanan kehidupannya secara rutin dilakukan secara agama Hindu. Setiap kepala keluarga dari etnis Tionghoa memihiki tempat suci keluarga berupa Sanggah, Kemulan Taksu, Padmasari dan pelinggih lainnya yang terletak di bagian hulu rumahnya (tidak dekat jalan raya), sedangkan krama Hindu asli letak pura keluarga berada di pinggir jalan. Letak pemukiman etnis Tionghoa di banjar Lampu itu adalah ngomplek di sebelah kiri jalan, yang membentang dari pertigaan depan pasar desa Catur menuju ke arah barat sampai di batas banjar Lampu, sedangkan krama Hindu asli berada di sebelah kanan jalan (di sebelah utara jalan).
Dengan fasilitas pemujaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa berupa pura keluarga dan sekaligus juga pura kayangan tiga, maka uniknya lagi bahwa mereka juga memiliki satu kepercayaan leluhur Tionghoa berupa tempat suci khusus di dalam rumahnya bernama Konco, untuk memuja Tuhan dan leluhur yakni Dewi Kuan Him serta Kuan Kong. Sedangkan satu pelinggih yang memihiki bentuk berupa gedong beratap ijuk bertempat di area kahyangan tiga, dinamai Pura Penyagjagan, dan di pelinggih gedong itu adalah khusus untuk memuliakan Tuhan yang dinamai Pelinggih Ratu Sah Bandar. Dalam pemujaan kepada Tuhan serta leluhurnya, etnis Tionghoa merayakan perayaan suci yakni perayaan. Imlek yang dirayakan setiap tahun sekali pada tanggal 30 Januari, sedangkan satu perayaan suci untuk memuja leluhur dinamai perayaan suci Cingbing dirayakan setiap tanggal 5 April setiap tahunnya, yang dilakukan di tempat suci bernama Abu yang bersandingan dengan Konco.

Keunikan kehidupan beragama nampak berbaur pada saat perayaan hari suci Hindu, karena semua etnis Tionghoa yang tinggal di Banjar Lampu juga merayakan semua perayaan suci Hindu, seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Nyepi, Sivaratri, Purnama Tilem, Kajeng Kliwon, Tumpek, Anggarakasih, Buda Kliwon, dan hari suci lainnya, mengikuti perayaan suci Hindu yang dilakukan oleh krama Hindu asli dari Desa Catur. Dalam perkawinan, secara turun-temurun etnis Tionghoa melakukan perkawinan dengan krama asli Hindu di Desa Catur, begitu sebaliknya yang dilakukan dengan cara mesakapan. Dalam pelaksanaan upacara kematian juga dilakukan dengan cara upacara ngaben, hanya saja tidak menggunakan jempana atau bade, cukup dengan sarana rumah-rumahan untuk membawa mayat ke kuburan secara khusus bagi etnis Tionghoa, yang terpisah dengan setra bagi krama Hindu asli. Uniknya bahwa di kuburan etnis Tionghoa itu juga ada pelinggih Prajapati dan saat upacara kematian dipimpin oleh pemangku setempat.

Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara bersama-sama, maka etnis Tionghoa selalu berbaur dalam suasana akrab dan kekeluargaan. Hidup bergotong-royong dan hidup bahu-membahu selalu menjadi ciri khas bagi etnis Tionghoa bersama penduduk asli Hindu di Desa Catur. Melakukan kerja bakti di pura, di pasar, di jalan raya, di kuburan, di setra, di balai banjar dan balai desa, sudah menjadi tradisi akrab sejak dahulu sampai kini, yang konon menurut penuturan kedua tokoh dari etnis Tionghoa dan etnis Hindu asli, dikatakan tidak pernah terjadi pelanggaran, penyimpangan, perselisihan dan konflik yang berkaitan dengan hal-hal sosial maupun material. Itu telah dilalui sejak lama sampai kini dengan mematuhi tradisi dan aturan desa pakraman berupa awig-awig desa pakraman maupun aturan formal lainnya yang berlaku.

Tidak saja itu yang nampak pembauran antara etnis Tionghoa dan Hindu asli Desa Catur, maka suasana menyatu juga nampak dari segi pergaulan, kehidupan keluarga, tata upacara keluarga yang mengacu pada penerapan panca yajna, tata namanya mengikuti seperti nama yang dipakai oleh rekannya dari keluarga Hindu asli Desa Catur, yakni dengan memakai nama I Wayan, I Made, I Nyoman, dan I Ketut yang merupakan ciri khas penamaan dalam keluarga Hindu Bali. Bahkan bagi keluarga etnis Tionghoa dapat dikatakan telah punah dengan penamaan dari keluarga Tionghoa, walaupun ada hanya satu dua yang masih memakai nama dari istilah Tionghoa, paling-paling hanya sesepuh dan tokoh yang tergolong tua saja. Juga dalam pergaulan sehari-hari, tidak sama sekali digunakan lagi bahasa Tionghoa, karena etnis Tionghoa telah fasih dengan bahasa Bali lumrah maupun bahasa Bali halus (singgih).

Uniknya lagi, bahwa dalam hal pembauran kepemimpinan di tingkat banjar pakraman maupun di tingkat dusun atau banjar dinas, antara etnis Tionghoa dan krama Hindu asli Desa Catur sama-sama ikut dalam kepemimpinan di desa pakraman, banjar pakraman maupun di desa dinas. Kepala Dusun Lampu dijabat oleh I Wayan Wijana sedangkan wakil Kepala Dusun dijabat oleh Po Cing Huang. Kelihan Banjar Pakraman Lampu dijabat oleh I Made Bakat Karunia, sedangkan wakil Kelihan Banjar Pakraman Lampu dijabat oleh Ayusta Wijaya. Walaupun etnis Tionghoa dalam kepemimpinan di tingkat dinas dan banjar pakraman Lampu menjabat sebagai wakilnya, itu berarti bukan dinomor-duakan dalam memimpin, tetapi semua krama banjar pakraman Lampu selalu menumbuhkan adanya rasa saling hormat-menghormati di antara pemimpin itu sendiri, maupun di antara pemimpin dengan masyarakat dari kedua etnis tersebut.

Krama istri, krama teruna dan etnis Tionghoa juga ikut dalam kegiatan kemasyarakatan untuk bergotong-royong maupun dalam aktivitas sekaa dan tempekan. Bagi kaum muda Tionghoa turut bergabung dalam Sekaa Teruna-Teruni Semara Tunggil Banjar Lampu. Tugas utama para sekaa teruna-teruni adalah turut bergotong-royong dalam kegiatan sosial maupun dalam kegiatan adat, keagamaan, dan kegiatan lainnya yang tergolong aktivitas suka duka banjar pakraman. Bahkan pada saat ada kegiatan keagamaan Hindu, para krama dari etnis Tionghoa ikut serta dalam ayah-ayah, baik dalam sinoman, ancangan, pepeson, punya, patus, membayar peturunan, dan yang lainnya. Daham kaitannya dengan pertolongan kesehatan bahkan tiga krama etnis Tionghoa yang aktif sebagai jro dasaran yang memihiki kepedulian untuk
memberikan pertolongan kesehatan secara tradisional kepada lapisan masyarakat.

Dalam aktivitas keagamaan Hindu sebenarnya telah dilaksanakan oleh prajuru banjar pakraman selain jro bendesa, penyarikan, kasinoman dan kelihan banjar, juga secara turun temurun dilakukan oleh ulu apad, seperti :jro kubayanan gedenan, jro kubayan alitan, jro bahu gedenan, jro bahu alitan, jro mangku gedenan, jro mangku alitan, jro sinoman gedenan dan jro sinoman alitan. Dalam hal aktivits yang terkait dengan ulu apad itu, bahwa dari etnis Tionghoa pun juga ikut berperan terutama dari kalangan sesepuhnya. Termasuk juga dalam pemeliharaannya sebelas pelebahan pura yang ada di wilayah Desa Pakraman Catur, seperti : Pura Puseh, Pura Baleagung, Pura Dalem, Pura Penyagjagan, Pura Pebini, Pura Bukit Sari, Pura Pesiraman, Pura Padang Nguah, Pura Melanting, Pura Pesucian, dan Pura Subak.

Dalam aktivitas sembahyang yang dilakukan di Pura Keluarga, Pura Kahyangan Desa dan termasuk pada tempat suci, Konco juga menggunakan sesajen atau bebanten seperti lazimnya yang dilakukan oleh umat Hindu Bali. Demikian juga dalam lafal doanya secara rutin berupa doa tri sandhya maupun doa dalam kramaning sembah. Hanya saja dalam pemujaan leluhur yang bertempat di Abu dan Konco, doanya menggunakan bahasa Bali lumrah sesuai tradisi yang bermaksud untuk menghormati leluhurnya. Dalam kegiatan pemujaan secara rutin sehari-hari juga dilakukan menghaturkan canang sari serta banten jotan atau banten saiban, baik di sanggahnya dan di konconya, termasuk pada saat rerahinan purnama, tilem, rerahinan buda kliwon, anggara kasih dan tumpek.