|
Oleh : I Ketut Subagiasta - IHDN Denpasar
Desa Catur terletak di tengahtengah antara
pegunungan Penulisan, Batur, Catur, dan pegunungan Mangu,
yang sebelah-menyebelah di antara tiga kabupaten di Bangli,
yakni Badung, Buleleng, dan kabupaten Bangli. Lokasi Desa
Catur tepatnya berada ke arah barat laut dari kota kecamatan
Kintamani yang jaraknya lebih kurang 15 km. kemudian dengan
kota Bangli jaraknya 36 km. sedangkan jaraknya dengan kota
Denpasar sekitar 76 km. Nama Desa Catur diambil dari nama
pegunungan Catur yang berada di arah barat Desa Catur lebih
kurang 5 km tidak jauh dari banjar Mungsengan yang merupakan
salah satu banjar Pakraman yang ada di wilayah Desa Pakraman
Catur.
Wilayah Desa Catur terbagi menjadi tiga
dusun dan tiga banjar pakraman, yaitu banjar pakraman Mungsengan,
banjar pakraman Catur dan banjar pakraman Lampu. Bila melintas
dari arah Puncak Penulisan ke arah barat laut, maka dilewati
Desa Catur yang sangat subur dan hijau dengan tanaman perkebunan.
Dari arah desa Catur tersebut bisa menuju wilayah Buleleng,
tepatnya di wilayah Desa Sekumpul, Desa Lemukih, dan Desa
Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng. Juga dari arah Desa
Catur ke barat dapat menuju ke Desa Pelaga, Kecamatan Petang,
Kabupaten Badung.
Menurut penuturan tokoh Desa Pakraman Catur
dari etnis Bali yakni I Nyoman Suweta dan Li Giok Tian salah
seorang tokoh atau kelihan tempek masyarakat Tionghoa Desa
Catur, bahwa keberadaan masyarakat etnis Tionghoa di Desa
Catur sudah turun-temurun sejak dahulu. “Nenek moyang
saya memang lahir secara tururitemurun di desa Catur”,
demikian penuturan Li Giok Tian ketika ditemui di Balai
Banjar Pakraman Lampu baru-baru ini. Tidak dirinci secara
pasti sejak kapan, atau sejak abad ke berapa etnis Tionghoa
membaur dengan masyarakat asli (Hindu) di Desa Catur. Ada
dinyatakan bahwa diperkirakan sejak jayanya kerajaan Karangasem
saat dulu, yang melakukan kunjungan ke tanah Cina untuk
melakukan pinangan gadis Cina, sekaligus mengajak pasukan
pengaman dari orang Cina yang ditempatkan di perbatasan
wilayah kerajaan Karangasem yang berada di daerah banjar
Mungsengan sebagai salah satu banjar di Desa Pakraman Catur.
Konon sejak itu bahwa mayarakat etnis Tionghoa
pada awalnya yang hanya berjumlah 11 orang, yang ditugasi
sebagai pasukan tangguh untuk menjaga batas wilayah Bangli,
Badung dan Buleleng dan hingga kini akhirnya menetap di
Banjar Lampu, Desa Catur, Kecamatan Kintamani sudah mencapai
lebih kurang 70 kepala keluarga atau sekitar 350 jiwa, dengan
profesi pokok sebagai petani, dan pengusaha. Bagi etnis
Tionghoa yang telah menyatu dengan krama asli Desa Catur,
lebih menyukai berprofesi sebagai petani, terutama berkebun,
beternak, dan membuka usaha rumah tangga, seperti layaknya
dengan masyaraka asli Desa Catur. Tetapi ada sebagian etnis
Tionghoa yang telah maju dalam usaha dan memiliki modal
yang memadai kemudian urban ke kota Denpasar membuka usaha
penjualan sepeda motor, seperti “ Toko Hero”
yang ada di Denpasar.
Ada keunikan bagi etnis Tionghoa di Desa
Catur yang patut disimak sesuai penuturan Li Giok Tian bahwa
status agamanya adalah beragama Hindu, hal itu dibuktikan
dengan tatanan kehidupannya secara rutin dilakukan secara
agama Hindu. Setiap kepala keluarga dari etnis Tionghoa
memihiki tempat suci keluarga berupa Sanggah, Kemulan Taksu,
Padmasari dan pelinggih lainnya yang terletak di bagian
hulu rumahnya (tidak dekat jalan raya), sedangkan krama
Hindu asli letak pura keluarga berada di pinggir jalan.
Letak pemukiman etnis Tionghoa di banjar Lampu itu adalah
ngomplek di sebelah kiri jalan, yang membentang dari pertigaan
depan pasar desa Catur menuju ke arah barat sampai di batas
banjar Lampu, sedangkan krama Hindu asli berada di sebelah
kanan jalan (di sebelah utara jalan).
Dengan fasilitas pemujaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa
berupa pura keluarga dan sekaligus juga pura kayangan tiga,
maka uniknya lagi bahwa mereka juga memiliki satu kepercayaan
leluhur Tionghoa berupa tempat suci khusus di dalam rumahnya
bernama Konco, untuk memuja Tuhan dan leluhur yakni Dewi
Kuan Him serta Kuan Kong. Sedangkan satu pelinggih yang
memihiki bentuk berupa gedong beratap ijuk bertempat di
area kahyangan tiga, dinamai Pura Penyagjagan, dan di pelinggih
gedong itu adalah khusus untuk memuliakan Tuhan yang dinamai
Pelinggih Ratu Sah Bandar. Dalam pemujaan kepada Tuhan serta
leluhurnya, etnis Tionghoa merayakan perayaan suci yakni
perayaan. Imlek yang dirayakan setiap tahun sekali pada
tanggal 30 Januari, sedangkan satu perayaan suci untuk memuja
leluhur dinamai perayaan suci Cingbing dirayakan setiap
tanggal 5 April setiap tahunnya, yang dilakukan di tempat
suci bernama Abu yang bersandingan dengan Konco.
Keunikan kehidupan beragama nampak berbaur
pada saat perayaan hari suci Hindu, karena semua etnis Tionghoa
yang tinggal di Banjar Lampu juga merayakan semua perayaan
suci Hindu, seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan,
Nyepi, Sivaratri, Purnama Tilem, Kajeng Kliwon, Tumpek,
Anggarakasih, Buda Kliwon, dan hari suci lainnya, mengikuti
perayaan suci Hindu yang dilakukan oleh krama Hindu asli
dari Desa Catur. Dalam perkawinan, secara turun-temurun
etnis Tionghoa melakukan perkawinan dengan krama asli Hindu
di Desa Catur, begitu sebaliknya yang dilakukan dengan cara
mesakapan. Dalam pelaksanaan upacara kematian juga dilakukan
dengan cara upacara ngaben, hanya saja tidak menggunakan
jempana atau bade, cukup dengan sarana rumah-rumahan untuk
membawa mayat ke kuburan secara khusus bagi etnis Tionghoa,
yang terpisah dengan setra bagi krama Hindu asli. Uniknya
bahwa di kuburan etnis Tionghoa itu juga ada pelinggih Prajapati
dan saat upacara kematian dipimpin oleh pemangku setempat.
Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat
secara bersama-sama, maka etnis Tionghoa selalu berbaur
dalam suasana akrab dan kekeluargaan. Hidup bergotong-royong
dan hidup bahu-membahu selalu menjadi ciri khas bagi etnis
Tionghoa bersama penduduk asli Hindu di Desa Catur. Melakukan
kerja bakti di pura, di pasar, di jalan raya, di kuburan,
di setra, di balai banjar dan balai desa, sudah menjadi
tradisi akrab sejak dahulu sampai kini, yang konon menurut
penuturan kedua tokoh dari etnis Tionghoa dan etnis Hindu
asli, dikatakan tidak pernah terjadi pelanggaran, penyimpangan,
perselisihan dan konflik yang berkaitan dengan hal-hal sosial
maupun material. Itu telah dilalui sejak lama sampai kini
dengan mematuhi tradisi dan aturan desa pakraman berupa
awig-awig desa pakraman maupun aturan formal lainnya yang
berlaku.
Tidak saja itu yang nampak pembauran antara
etnis Tionghoa dan Hindu asli Desa Catur, maka suasana menyatu
juga nampak dari segi pergaulan, kehidupan keluarga, tata
upacara keluarga yang mengacu pada penerapan panca yajna,
tata namanya mengikuti seperti nama yang dipakai oleh rekannya
dari keluarga Hindu asli Desa Catur, yakni dengan memakai
nama I Wayan, I Made, I Nyoman, dan I Ketut yang merupakan
ciri khas penamaan dalam keluarga Hindu Bali. Bahkan bagi
keluarga etnis Tionghoa dapat dikatakan telah punah dengan
penamaan dari keluarga Tionghoa, walaupun ada hanya satu
dua yang masih memakai nama dari istilah Tionghoa, paling-paling
hanya sesepuh dan tokoh yang tergolong tua saja. Juga dalam
pergaulan sehari-hari, tidak sama sekali digunakan lagi
bahasa Tionghoa, karena etnis Tionghoa telah fasih dengan
bahasa Bali lumrah maupun bahasa Bali halus (singgih).
Uniknya lagi, bahwa dalam hal pembauran
kepemimpinan di tingkat banjar pakraman maupun di tingkat
dusun atau banjar dinas, antara etnis Tionghoa dan krama
Hindu asli Desa Catur sama-sama ikut dalam kepemimpinan
di desa pakraman, banjar pakraman maupun di desa dinas.
Kepala Dusun Lampu dijabat oleh I Wayan Wijana sedangkan
wakil Kepala Dusun dijabat oleh Po Cing Huang. Kelihan Banjar
Pakraman Lampu dijabat oleh I Made Bakat Karunia, sedangkan
wakil Kelihan Banjar Pakraman Lampu dijabat oleh Ayusta
Wijaya. Walaupun etnis Tionghoa dalam kepemimpinan di tingkat
dinas dan banjar pakraman Lampu menjabat sebagai wakilnya,
itu berarti bukan dinomor-duakan dalam memimpin, tetapi
semua krama banjar pakraman Lampu selalu menumbuhkan adanya
rasa saling hormat-menghormati di antara pemimpin itu sendiri,
maupun di antara pemimpin dengan masyarakat dari kedua etnis
tersebut.
Krama istri, krama teruna dan etnis Tionghoa
juga ikut dalam kegiatan kemasyarakatan untuk bergotong-royong
maupun dalam aktivitas sekaa dan tempekan. Bagi kaum muda
Tionghoa turut bergabung dalam Sekaa Teruna-Teruni Semara
Tunggil Banjar Lampu. Tugas utama para sekaa teruna-teruni
adalah turut bergotong-royong dalam kegiatan sosial maupun
dalam kegiatan adat, keagamaan, dan kegiatan lainnya yang
tergolong aktivitas suka duka banjar pakraman. Bahkan pada
saat ada kegiatan keagamaan Hindu, para krama dari etnis
Tionghoa ikut serta dalam ayah-ayah, baik dalam sinoman,
ancangan, pepeson, punya, patus, membayar peturunan, dan
yang lainnya. Daham kaitannya dengan pertolongan kesehatan
bahkan tiga krama etnis Tionghoa yang aktif sebagai jro
dasaran yang memihiki kepedulian untuk
memberikan pertolongan kesehatan secara tradisional kepada
lapisan masyarakat.
Dalam aktivitas keagamaan Hindu sebenarnya
telah dilaksanakan oleh prajuru banjar pakraman selain jro
bendesa, penyarikan, kasinoman dan kelihan banjar, juga
secara turun temurun dilakukan oleh ulu apad, seperti :jro
kubayanan gedenan, jro kubayan alitan, jro bahu gedenan,
jro bahu alitan, jro mangku gedenan, jro mangku alitan,
jro sinoman gedenan dan jro sinoman alitan. Dalam hal aktivits
yang terkait dengan ulu apad itu, bahwa dari etnis Tionghoa
pun juga ikut berperan terutama dari kalangan sesepuhnya.
Termasuk juga dalam pemeliharaannya sebelas pelebahan pura
yang ada di wilayah Desa Pakraman Catur, seperti : Pura
Puseh, Pura Baleagung, Pura Dalem, Pura Penyagjagan, Pura
Pebini, Pura Bukit Sari, Pura Pesiraman, Pura Padang Nguah,
Pura Melanting, Pura Pesucian, dan Pura Subak.
Dalam aktivitas sembahyang yang dilakukan
di Pura Keluarga, Pura Kahyangan Desa dan termasuk pada
tempat suci, Konco juga menggunakan sesajen atau bebanten
seperti lazimnya yang dilakukan oleh umat Hindu Bali. Demikian
juga dalam lafal doanya secara rutin berupa doa tri sandhya
maupun doa dalam kramaning sembah. Hanya saja dalam pemujaan
leluhur yang bertempat di Abu dan Konco, doanya menggunakan
bahasa Bali lumrah sesuai tradisi yang bermaksud untuk menghormati
leluhurnya. Dalam kegiatan pemujaan secara rutin sehari-hari
juga dilakukan menghaturkan canang sari serta banten jotan
atau banten saiban, baik di sanggahnya dan di konconya,
termasuk pada saat rerahinan purnama, tilem, rerahinan buda
kliwon, anggara kasih dan tumpek. |