Arsitektur Khas dan Kisah Nostalgia
Selain sebagai sebuah pura suci Hindu, Pura Pabean di kawasan
Pulaki, Buleleng Barat ini juga menyimpan kisah, nostalgia
persinggahan atau sebagai pelabuhan bagi pelaut-pelaut dari
etnis luar Bali beberapa abad lalu. Dalam perwujudan visualnya,
pura ini memasukkan pula unsur-unsur religioitas agama Hindu
Bali, Cina (Siwa, Buddha, Tao, Kong Hu Tju) dan Islam. Adanya
palinggih-palinggih yang bernafaskan beberapa keyakinan
atau kepercayaan ini membuktikan adanya perkawinan kultur
wujud arsitektur Pura Pabean ini.
Maka, tak ayal lagi kalau pura ini disebut Pura Pabean
Linggih Ida Batari Dewi Ayu Manik Mas Subandar, atau dengan
sebutan lain, Geriya Konco Dewi.
Kata pabean sendiri diperkirakan berasal dari suku kata
bea, diimbuhi awal pa dan akhiran an. Sehingga pabean bisa
diartikan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan
pengenaan bea-cukai bagi para pelayar yang membawa barang
dagangannya ke Bali. Intinya, tentu ada kaitannya dengan
tempat berlabuh kapal-kapal asing pada zaman dulu.
Pura ini terletak di seberang jalan Pura Pulaki, yakni
di Pantai Pulaki, agak menjorok ke arah laut. Pura ini merupakan
salah satu dari lima buah pura yang ada di kawasan Pulaki,
yang seluruhnya merupakan stana "Pesanakan Ida Batara
Sami" yaitu pesanakan Ida Batara Pulaki, Ida Batara
Melanting, Ida Batara Kertaning Jagat (di Desa Banyu Poh),
Ida Batara Mutering Jagat (di Dusun Yeh Panes - Pemuteran),
dan Ida Batara Pabean.
Pemugaran
Arsitektur Pura Pabean ini merupakan hasil rancangan arsitek
Ida Bagus Tugur. Setelah dipugar sekitar tahun 1995, pada
1996 dilakukan upacara memindahkan (magingsir) Ida Batara
Pabean sementara waktu (dalam wujud mapurus lumbung) di
sebelah selatan lokasi selama pemugaran dan pembangunan
pura berlangsung. Kemudian dilakukan upacara malaspas alit
tahun 1999, serta ngenteg linggih-nya diselenggarakan tepat
pada purnama kelima bersamaan dengan hari Penampahan Galungan,
19 November 2002. Secara keseluruhan fisik arsitekturnya
menggunakan bahan baku tabas berwarna hitam.
Dikisahkan oleh Jero Mangku Teken, selaku mangku pengayah
di Pura Pabean/Pulaki, bahwa Ida Batara yang malinggih di
sini -- konon -- dulunya berasal dari dalem Solo, kemudian
hijrah ke Madura, sampai akhirnya tiba Bali, di tempat ini.
Dikatakan lebih lanjut, sekitar tahun 1991 pada titik lokasi
di Pura Pabean, ditemukan piring Cina oleh seorang profesor
dari Jepang. Kemudian tahun 1994 dijumpai lagi empat kerangka
manusia -- keempatnya masih memakai gelang -- oleh salah
seorang ahli dari Bali. Menurut para ahli atau peneliti,
kedua jenis peninggalan itu dikatakan berasal dari dinasti
Yim, dan diperkirakan berumur 2500 tahun SM.
Memang, cukup banyak riwayat dan kisah unik tercatat mengisi
lembar zaman di persada pesisir Buleleng. Mulai dari penjajahan
kolonial Belanda, perjalanan Dang Hyang Dwijendra, era pemerintahan
raja Ki Barak Panji Sakti, sampai pada kedatangan perahu-perahu
dari Tiongkok, Bugis, Mandar, dan Melayu, yang merapat di
beberapa pelabuhan pesisir Buleleng membawa barang-barang
dagangannya. Dalam persinggahannya, tentu juga mengusung
kultur dan agama yang dianut dari negeri asalnya.
Seperti dituturkan Jero Mangku Teken asal Desa Kalisada,
Kecamatan Seririt itu, ada sepotong kisah yang bersumber
dari palingsir-nya -- neneknya yang bernama Ninik Made Merik
yang telah di-aben pada tahun 1988, ada versi yang sedikit
berbeda dengan apa yang diungkap dalam Dwijendra Tatwa.
Perbedaan tersebut menyangkut pada kisah kedatangan Pedanda
Sakti Wawu Rauh dari Jawa.
Dalam versi ini diceritakan, saat kedatangan pertama Dang
Hyang Dwijendra ke Bali, sudah malinggih Ida Batara Pulaki
di lokasi Pura Pulaki sekarang. Wujud visualnya ketika itu
berupa batu lempeh. Ketika Dang Hyang Dwijendra tiba --
yang konon berlayar dengan menggunakan tongkat -- di Pantai
Pulaki, Ida Batara Pulaki sempat menguji kesaktian Dang
Hyang Dwijendra dengan cara menampakkan diri berwujud manusia
tak berkaki dan tak berlengan (hanya memiliki badan dan
kepala). Nah, sejauh mana kebenaran atau otentisitasnya,
tentu para ahli yang berkompeten punya kewajiban untuk meneliti
segi historisnya.
Tiga Zona
Secara menyeluruh, tapak (site) Pura Pabean ini terbagi
atas tiga zona pokok, sebagaimana pembagian tata ruang arsitektur
pura atau tata nilai tradisional yang berlaku di Bali pada
umumnya. Yaitu terbagi atas zona jaba sisi -- mulai dari
jalan setapak yang dibuat mengelilingi pura, sampai dengan
pelataran depan Gelung Kori. Kemudian zona jaba tengah yang
terdiri atas bangunan Wantilan dua buah yang masing-masing
terletak secara simetris di sisi kiri dan kanan, serta adanya
Bale Peninjauan dan Bale Kulkul.
Bale Peninjauan untuk sementara difungsikan sebagai Bale
Kulkul (karena Bale Kulkul yang sesungguhnya belum selesai
dibangun, yakni terletak di sebelah gelung kori bagian kanan.
Penataan massa bangunan secara keseluruhan berpola simetri.
Dengan garis sumbu orientasi menuju ke arah hulu atau kaja
(ke arah gunung) dan teben atau kelod (ke arah laut).
Pola penataan yang simetri bermakna keseimbangan, kestabilan
dan ketenangan menuju titik keheningan yang dituju. Sumbu
simetri bermakna mengarahkan dan mengumpulkan konsentrasi
ke pusat yang tertinggi. Maka ujung titik dari perpanjangan
garis sumbu berakhir pada titik tempat yang sangat disucikan,
tempat ber-stana Tuhan Sang Maha Pencipta. Pada titik inilah
berdiri Padmasana sebagai tempat malinggih Hyang Maha Tunggal,
berada pada areal tertinggi, yang merupakan zona jeroan.
Adapun sumbu simetrinya dapat dimulai dari massa palinggih
yang paling depan, yaitu Jero Nyoman Pamungkah Karang (Jero
Patih Agung) yang diapit oleh dua ekor "naga suci"
di kiri kanannya. Kemudian disusul dengan Bale Pegat. Selanjutnya
palinggih Pengaruman Agung -- tempat peraneman Ida Batara
Sami, yang bangunannya berbentuk segi delapan (hexagonal)
dipadukan dengan bentuk bunga teratai. Bentuk segi delapan
itu juga disebut patkua bagi etnis Tiongkok, bentuk dasar
yang memiliki nilai magis-spiritual.
Hal ini mengandung makna kebaikan yang datang dari segala
sisi, pun bermula dari konsep asta dala (delapan penjuru
mata angin dengan satu titik di tengah), secara fisik dikelilingi
kolam berbentuk lingkaran. Jika menukik lebih dalam lagi
mungkin terkait dengan sebuah kalimat bijak dalam Reg Weda
yang berbunyi "Aum a no bhadrah kratawo wiswatah",
yang artinya "semoga semua pikiran yang baik datang
dari semua arah".
Di belakang Pengaruman Agung berderet beberapa palinggih,
paling tengah adalah Padmasana yang merupakan bangunan paling
tinggi dimensi/ukurannya di antara keseluruhan bangunan
dalam pura ini. Pada puncak dari Padmasana berdiri teguh
bentuk aksara ongkara (Ang - Ung - Mang). Sedangkan pada
bagian depan atas Padmasana menempel relief acintya yang
dibuat dari bahan emas.
Lebih jauh jika diamati, hampir seluruh gugus massa arsitektur
pura ini, setiap puncaknya mengusung aksara tersebut. Kemudian,
lebih hakiki lagi bila ditelusuri, bahwa setiap wujud arsitektur
sebenarnya merupakan sebagai suatu aksara (teks) pula. Untuk
memahaminya perlu "dialog batin" dan menafsirkannya
melalui proses "mendengarkan" makna sebuah wujud
arsitektur.
Beberapa palinggih yang berada di sebelah kanan Padmasana
adalah Anglurah Manca, Lingga Ida Batara Mpu Kuturan, dan
Lingga Ida Batara Baruna. Sedangkan yang berdiri di sisi
kiri Padmasana adalah palinggih Ida Ratu Syahbandar dan
Dewi Ayu Manik Mas Subandar (dua rong dalam satu palinggih,
sebagai stana dua bersaudara -- raka-rai), palinggih Dewi
Kwan Im (Dewi Pengasih), dan Anglurah polos.
Pada palinggih Dewi Kwan Im ini sebagian besar diadopsi
ornamen dan ragam hias gaya Cina. Seperti adanya motif naga
pada bubungan, patra-patra Cina, pepalihan berbentuk uang
kepeng, dll. Pada satu sisi kiri di dalam area pura juga
terdapat sebuah bangunan kecil berbentuk dasar segi delapan,
sebagai tungku/tempat pembakaran kertas-kertas Cina.
Keunikan
Bila diamati lebih seksama, penataan palinggih di pura
ini memiliki keunikan tersendiri, baik dari pola penempatan,
bentuk, serta makna yang dikandungnya. Lokasi pura ini berada
di atas bukit kecil, berseberangan dengan pura Pulaki. Memasukinya
diawali dari jalan setapak yang melingkar mengelilingi bukit
tersebut, masing-masing sebagai area sirkulasi untuk arah
masuk dan arah keluar, sehingga tapak (site) dari pura tersebut
mendekati bentuk lingkaran.
Bentuk ini memiliki makna sebagai kura-kura (akupe) yang
diapit dua ekor naga -- naga Anthaboga yang melambangkan
lapisan bumi dan naga Basuki sebagai sumber mata air. Posisi
kedua naga ini juga memiliki makna magis-filosofis, dimana
ekor naga menghadap ke gunung, sedangkan kepalanya menghadap
ke laut. Gerbang utama masuk pura berbentuk gelung kori
yang memiliki ciri khas tersendiri, pada bagian atasnya
berbentuk setengah lingkaran yang digestilir dalam bentuk
ornamen yang menunjang nilai otentik pura. Sedangkan pada
bagian temboknya memiliki motif-motif kuda laut, kera, dll.
Perihal lain dapat ditemukan adanya dua buah palinggih
yang unik -- juga kreasi dari arsitek Ida Bagus Tugur, terletak
di bawah areal pura (di tepi pantai) dibuat agak abstrak
dalam bentuk sculpture dengan bahan asli dari bebatuan berukuran
besar yang diambil dari pantai tersebut, kemudian disusun
sedemikian rupa menjadi sebuah komposisi yang unik dan menarik.
Kedua palinggih tersebut disebut linggih Dewa Ayu dan linggih
Patih Agung. Palinggih-palinggih ini bermakna sebagai tempat
peristirahatan kedua beliau tersebut, sehingga bentuk dan
ekspresi yang ditampilkan dibuat agar berkesan selaras dan
harmonis dengan lingkungannya (terhadap hamparan air laut
dan batu-batu), serta memberikan rasa santai, rileks, tentram
dan damai. Di depannya terhampar bebatuan pantai yang ditata,
sekaligus berfungsi sebagai jalan setapak menuju ke area
peristirahatan atau linggih Desa Ayu dan Patih Agung.
Kebhinekaan
Rancangan arsitektur Ida Bagus Tugur ini merupakan arsitektur
yang mendulang dinamika dan pembaruan. Sebuah hasil rancangan
yang tidak hanya bertitik tolak dari nilai estetis semata-mata,
namun menyerap nilai-nilai historis, filosofis, tradisi,
serta mengangkat karakter dan potensi alamnya.
Tepat sekali ungkapan "Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrwa" yang merupakan penuangan konsep "kesatuan"
yang dapat menjiwai berbagai perilaku kehidupan maupun penataan
fisik arsitektural, hakikatnya mengandung makna satu tujuan,
yakni tiada dharma yang dua. Hal ini dapat dilihat pada
wujud arsitektur di sini, yakni dibangunnya palinggih-palinggih
sebagai tempat ber-stana para dewa-dewi, Ida Batara, roh-roh
suci para leluhur dari berbagai etnis dan kepercayaan, seperti
nama-nama palinggih yang telah disebutkan.
Rancangan ini juga tak meninggalkan konsep-konsep pemikiran
manusia yang berhubungan dengan pemahaman makna kehidupan
masa lalu. Keadaan ini tercermin dari penataannya yang tetap
memegang teguh nilai-nilai filosofis dan kaidah-kaidah tradisional,
seperti filsafat arsitektur, aspek orientasi, hirarki tata
ruang, level tinggi rendah suatu tempat, serta menyelaraskan
dengan keadaan lingkungan setempat.
* I Nyoman Gde Suardana |