Dalam perjalanan berat Peranda Sakti Wawu Rauh di bumi
Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut
juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang
kelelahan seakan tak kuasa lagi mengangkat kakinya. Beliau
dalam keadaan hamil tua, seluruh persendian kakinya membengkak
dan ngilu dan nyeri. Padahal perjalanan masih sangat jauh.
Malang benar, Peranda Suci Nirarta yang bijak itu sempat
terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan
waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan
menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan
belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah
satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain
diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan.
Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya
pengikutnya menjemput mereka.
Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan
lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan
bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi
suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya
pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya.
Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai
Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau
melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus
Bajra, sesuai pesan ayahndanya.
Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh
menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona,
dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa
dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan
menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan
masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak
dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat
pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang,
hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli
itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka
akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.
Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu
kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah
tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang
berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan
utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah
Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun
menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan
itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat
dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya,
tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan
Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya
sedang bepergian jauh.
Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda
Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan
hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat
dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan
perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau
menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata
agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu
tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang
berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan
dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian
karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata
menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang
lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau
tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap
dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang.
Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.
Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya
telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga
moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi...
Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah
bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa
Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda,
pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal
dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura
Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran
Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai
Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang
bijak dan Ida Bagus Ratu Samar.
Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi
dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan
barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya,
di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik
Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang
yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan
harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau.
|