Pemujaan Tuhan dengan sarana Lingga Yoni tersebut pada zaman Hindu Siwa Pasupata
dengan budaya megalitikumnya untuk memohon kemakmuran pertanian
dalam artian luas. Lingga Yoni itu adalah imaginasi spiritual
dalam memuja Tuhan untuk membangun keseimbangan Purusa dengan
Pradana. Dalam bahasa sekarang keseimbangan hidup lahir
batin.
Purusa dalam bahasa Sansekerta berarti jiwa, sedangkan
Pradana berarti badan fisik. Dalam simbol sakral Lingga
Yoni itu Purusa dilambangkan dengan Lingga dan Pradana dilambangkan
dengan Yoni. Dalam ritual keagamaan Hindu Siwa Pasupata,
air suci dengan segala sarananya dituangkan di ujung Lingga.
Air suci dengan sarana pelengkapnya yang mengalir dari ujung
Lingga itu mengalir sampai di Yoninya yang memiliki saluran.
Dari saluran tersebutlah air suci tersebut ditampung dengan
sarana yang sakral. Air suci yang ditampung dari saluran
Yoni itulah dipercikan ke areal pertanian dengan doa-doa
tertentu. Dengan prosesi ritual seperti itu umat Hindu di
Bali saat itu amat yakin akan keberhasilan usaha pertaniannya.
Prosesi ritual dengan Lingga Yoni itu tentunya tidak berdiri
sendiri. Prosesi ritual itu adalah wujud upaya niskala,
tentunya upaya-upaya sekala harus dilakukan sesuai dengan
norma kehidupan di sekala.
Lingga sebagai lambang Purusa atau Tuhan sebagai Jiwa Bhuwana
Agung dan Bhuwana Alit memiliki bentuk yang unik. Bagian
bawahnya berbentuk segi empat yang disebut Brahma Bhaga.
Di atasnya berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga. Sedangkan
puncaknya berbentuk bulat panjang disebut Siwa Bhaga.
Sarana sakral Lingga Yoni ini adalah wujud budaya spiritual
Hindu dari Sampradaya Siwaistis. Hyang Gunung Alas di Pura
Kancing Gumi itu disebut Lingga Pasupati. Nama ini adalah
sebagai salah satu sebutan Dewa Siwa. Siwa sebagai Sang
Hyang Pasupati adalah manifestasi Tuhan untuk dipuja dalam
menguasai diri. Istilah Pasupati berasal dari bahasa Sansekerta
dari kata ”pasu” dan ”pati”. Pasu
artinya hewan dan pati artinya menguasai atau merajai.
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Pasupati adalah pemujaan
untuk dapat menguasai sifat-sifat kebinatangan yang ada
dalam diri manusia. Dalam Bhagawad Gita disebut Asuri Sampad
yaitu kecenderungan keraksasaan. Sedangkan dalam ajaran
Upanisad yang juga direkonstruksi dalam kitab Wrehaspati
Tattwa disebut Klesa yaitu lima kekotoran yang ada dalam
diri manusia.
Mereka yang mampu menguasai sifat-sifat kebinatangan atau
sifat-sifat keraksasaanlah yang akan mudah meraih karunia
Tuhan. Alam lingkungan ciptaan Tuhan itu diolah dengan cara-cara
yang bijak dan rasional sehingga terjadilah interaksi positif
antara manusia dengan alam sebagai sama-sama ciptaan Tuhan.
Dengan demikian manusia hidup sejahtera dengan mengolah
isi alam dan alam pun tetap lestari. Karena itu Yoni lambang
alam dan Purusa lambang jiwa manusia. Agar terjadi interaksi
positif antarmanusia dan alam itu maka olahlah alam sebagaimana
Sang Hyang Tri Murti yang disimbolkan oleh Lingga itu menciptakan,
memelihara dan mempralina alam dengan segala isinya yang
juga ciptaan Tuhan itu.
Hal inilah yang menyebabkan umat yang pedek tangkil ke
Pura Kancing Gumi itu mendapatkan paica berupa benang Tri
Dhatu dan Bija. Benang Tri Dhatu tersebut berupa tiga helai
benang warna merah, hitam dan putih dililit menjadi satu
dan digelangkan di tangan umat pemedek. Hal ini melambangkan
adanya raksa bandha yaitu untuk menjaga ikatan dengan jalan
bakti kepada Sang Hyang Tri Murti.
Ini berarti sebagai suatu janji diri kepada Sang Hyang
Tri Murti untuk senantiasa hidup untuk berkreasi menciptakan
(utpati) sesuatu yang sepatutnya diciptakan, memelihara
(stithi) sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan menghilangkan
(pralina) sesuatu yang seyogianya dihilangkan seperti kebiasaan-kebiasaan
buruk yang bertentangan dengan dharma dan sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan zaman.
Pemberian bija yaitu campuran beras yang utuh dengan air
cendana dan kunyit sebagai lambang untuk menciptakan benih-benih
kebenaran dan kebaikan dalam hidup ini agar tumbuh sejahtera,
kesehatan dan keseimbangan hidup. Bija Dewanya adalah Sang
Hyang Kumara yaitu putra Batara Siwa.
Pemberian benang Tri Dhatu dan Bija itu juga bermakna untuk
menumbuhkan tiga ikatan spiritual yaitu Dewa Abhimanam yaitu
ikatan spiritual untuk patuh pada arahan Sang Hyang Tri
Murti menegakkan ajaran Tri Kona dalam memelihara kehidupan.
Dharma Abhimana adalah janji spiritual untuk senantiasa
hidup di jalan dharma. Desa Abhimana adalah janji spiritual
untuk senantiasa mengabdikan diri pada desa tanah kelahiran
sendiri.
Yang juga patut dijadikan bahan renungan adalah isi Lontar
Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas cerita tentang
Panca Pandita sebagai putra dari Ida Sang Hyang Gnijaya.
Panca Pandita tersebut lahir dari Yoga Panca Bhayu Astawa
dari Ida Sang Hyang Gnijaya. Dari yoga tersebut berturut-turut
lahirlah lima putra yaitu Sang Brahmana Pandita, Mpu Mahameru,
Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan yang terkecil Mpu Bharadah.
Sang Bhramana Pandita berganti nama menjadi Mpu Geni Jaya
setelah kawin dengan Batari Hyang Manik Geni — putri
dari Ida Batara Maha Dewa. Karena Gunung Agung meletus maka
untuk mengembalikan keadaan agar pulih kembali maka Ida
Sang Hyang Geni Jaya menugaskan putra-putranya agar ke Bali
untuk menegakkan kembali kehidupan yang wajar dan sejahtera.
Hal ini sesuai dengan penugasan Ida Sang Hyang Parameswara
kepada putra-putranya, terutama kepada Sang Hyang Gnijayasakti
agar datang ke Bali untuk kesejahteraan dan keamanan alam
dan masyarakat di Pulau Bali. Karena sebelumnya Ida Sang
Hyang Parameswara sudah membawa gunung-gunung dan bukit-bukit
dari Jambudwipa (India) sebagai tempat beliau melakukan
yoga dahulu. Demikian dinyatakan dalam Lontar Dewa Purana
Giri Wana Hyangning Gunung Alas yang menguraikan keberadaan
Pura Kancing Gumi. * wiana
source: BaliPost |