Menurut Pustaka Purana Besakih, bahwa Pura Dukuh Sakti
di sebelah utara Pura Penataran Agung Besakih tergolong
Pura Catur Lawa. Pura Catur Lawa lainnya adalah Pura Pasek,
Pura Pande, dan Pura Penyarikan. Di samping ada Pura Catur
Lawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Pura Agung
Besakih terdapat pula Pura Catur Dala atau Pura Catur Loka
Pala yaitu empat kompleks pura yang menjadi unsur utama
dari Pura Besakih.
Pura Catur Loka Pala ini berada di empat penjuru angin
dengan Pura Penataran Agung Besakih sebagai sentralnya di
tengah-tengah. Pura Catur Dala atau Pura Catur Loka Pala
ini adalah Pura Batu Madeg media pemujaan Batara Wisnu di
utara Pura Penataran Agung Besakih. Pura Gelap media pemujaan
Batara Iswara di arah timur. Pura Kiduling Kreteg media
pemujaan Batara Brahma di arah selatan. Sedangkan di arah
barat Pura Ulun Kulkul. Pura Besakih disimbolkan bagaikan
bunga padma sakral. Pura Penataran Agung ibarat sari bunga
padma.
Pura Catur Dala itu ibarat empat kelopak daun bunga padma
tersebut. Dalam berbagai Puja Stawa bunga padma disimbolkan
sebagai Bhuwana Agung stana Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan
menurut kepercayaan Hindu ada di mana-mana meresap di seluruh
bagian Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit. Bahkan Tuhan berada
di luar alam semesta yang tiada terhingga. Demikian jugalah
halnya Pura Besakih dengan seluruh komplekanya sebagai simbol
sakral Bhuwana Agung sebagai Padma stana Tuhan Yang Maha
Esa.
Empat pura yang disebut Pura Catur Lawa itu memiliki fungsi
yang berbeda-beda dalam mengeksistensikan berbagai kegiatan
ritual dan spiritual di Pura Besakih. Tetapi perbedaan-perbedaan
fungsi Pura Catur Lawa itu sebagai pembagian tugas untuk
menyukseskan tujuan mulia upacara di Pura Besakih yaitu
harmonisnya hubungan umat manusia dengan alam lingkungannya,
dengan sesama manusia dan harmonis yang tertinggi adalah
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara,
Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata
segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu
berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai
penata berbagai keperluan sandang pangan, baik yang sakral
maupun yang biasa yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
kegiatan ritual dan spiritual di Pura Besakih.
Masing-masing Pura Catur Lawa itu memiliki pangempon tersendiri.
Pangempon dalam hal ini berarti yang mengurusi segala sesuatunya
agar pura tersebut dapat difungsikan dengan sebaik-baiknya
oleh umat panyungsung. Artinya pangempon pura ini bukan
berarti hanya warga pangempon saja yang boleh menggunakan
pura ini sebagai sarana untuk menyelenggarakan kehidupan
beragama Hindu.
Demikianlah Pura Dukuh Sakti ini sebagai Pura Catur Lawa
dan sebagai pangempon-nya adalah warga Dukuh Sagening. Pura
Dukuh Sakti ini bukanlah semata-mata sebagai Pura Padharman
Warga Dukuh Sagening. Yang lebih menonjol sebagai Pura Catur
Lawa Pura Agung Besakih.
Sekarang untuk mencapai Pura Dukuh Sakti ini dapat dilalui
dengan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor
lewat Pura Peninjoan. Di Pura Dukuh Sakti ini terdapat pelinggih
utama berupa Meru Tumpang Lima sebagai pemujaan Hyang Sangkul
Putih. Beliau ini adalah orang suci yang memiliki jasa besar
untuk mengatur berbagai kegiatan upacara yadnya di Pura
Besakih.
Pura Dukuh Sakti ini nampaknya sebagai pasraman tempat
belajar dan latihan bertapa dengan Sangkul Putih sebagai
penuntun spiritual. Istilah Dukuh sesungguhnya sebutan Dwijati.
Ia tidak keliling menjumpai umat memberikan tuntunan rohani.
Dukuh adalah Dwijati yang menetap di asramanya. Umat yang
membutuhkan tuntunanlah yang datang ke asrama sang Dukuh.
Hak inilah yang dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan bahwa
pandita sebagai sang Patirthan. Maksudnya salah satu fungsi
pandita di suatu paguyuban umat sebagai tempat untuk memohon
penyucian diri. Pura Dukuh Sakti inilah sebagai media pasraman
sang guru suci untuk melayani umat yang mohon tuntunan penyucian
diri kepada sang pandita. Dwijati yang demikian itulah yang
disebut Dukuh.
Mengapa Pura Catur Lawa itu disebut Pura Dukuh Sakti. Sakti
menurut pengertian Pustaka Wrehaspadi Tattwa 14 dalam ulasan
bahasa Jawa Kunonya yang dikutip di atas itu adalah sebagai
sebutan mereka yang sudah memiliki banyak ilmu atau sarwa.
Jnyana dan juga sudah banyak melakukan kerja nyata sebagai
upaya mewujudkan ilmu yang dimiliki. Di Pura Dukuh Sakti
ini berstana Sang Hyang Sangkul Putih yang memang sakti.
Kesaktian Sangkul Putih itu sebagaimana dinyatakan dalam
Pustaka Werehaspati Tattwa 14. Artinya beliau Sangkul Putih
itu benar-benar dwijati yang memiliki banyak ilmu atau Samiajnyanam
atau memiliki Para Widia dan Apara Widia. Maksudnya memiliki
ilmu tentang kerohanian dan tentang ilmu dunia nyata ini
yang disebut Apara Widya. Menurut Prasasti Penataran Agung
A. Putra, Pura Dukuh Sakti ini didirikan pada abad ke-15
Masehi saat Dalem Waturenggong sebagai Raja di Klungkung.
Tentunya keberadaan fisik Pura Dukuh Sakti saat itu tidak
seperti sekarang. Keadaan fisik Pura Dukuh Sakti sekarang
sudah banyak mendapatkan perhatian umat dan Pemda Bali dengan
berbagai perbaikan pelinggih yang sudah rusak. Pujawali
di Pura Dukuh Sakti ini setiap tahun sekali berdasarkan
Chandra Premana yaitu pada Purnamaning Sasih Kapat. Di pura
ini terdapat juga pelinggih bebaturan sebagai pertanda zaman
kejayaan Hindu Siwa Pasupata.
Meskipun sampai saat ini Hindu di Bali berada di bawah
Hindu Siwa Sidhanta, peninggalan-peninggalan Siwa Pasupata
tetap dipelihara dan amat dihormati. Demikian juga di Pura
Dukuh Sakti ini didirikan juga Pelinggih Manjangan Saluwang
yang mengingatkan kita pada kejayaan Mpu Kuturan mendampingi
raja menata kehidupan umat dalam mengamalkan ajaran agama
Hindu di Bali. Karena jasa-jasa Mpu Kuturan itulah diperingati
dengan suatu bentuk pelinggih yang amat khas yang disebut
Pelinggih Manjangan Saluwang. Pelinggih untuk mengingat
jasa-jasa Mpu Kuturan banyak di Pura Dewa Pratistha dan
Atma Pratistha. * I Ketut Gobyah |