|
|
|
|
|
|
|
Penutup |
|
|
|
Berdasarkan sumber - sumber riptaprasasti,
antara lain lontar Bhwanatattwa Maharsi Markandhya,
lontar Markandya Purana, bahwa eksistensi
Desa Adat Kedewatan dan Pura Dalem Swargan,
asal - usulnya tidak dapat dipisahkan dengan
perjalanan dharmayatra dan tirthayatra Maharsi
Markandya bersama pengiring Wong Aga - nya,
tatkala melakukan tapabrata, yoga samadhi
di kawasan Gunung Lebah dan Campuhan Tukad
Yeh Wos Kiwa dan Tukad Yeh Wos Tengen, yang
di sekitarnya, di tebing - tebing kedua tukad
(sungai) itu, banyak ada tirtha yang muncul
yang mengalir ke campuhan kedua sungai itu.
Demikian pula eksitensi Desa - desa Adat sekarang,
seperti Desa Adat Ubud, Desa Adat Payongan,
Desa adat Lungsyakan. Desa Adat Bunutan, Desa
Adat Kedewatan dan Desa Adat Katik Lantang,
adalah Desa - desa Adat yang mememiliki kontekstual
dengan perjalanan dharmayatra dan tirthayatra
Maharsi Markandhya bersama para pengiring
Wong Aga - nya, dari Besakih, setelah menanam
pancadatu di basukihan sedang melakukan upacara
Bhutayajna, Dewayajna, dan Pitrayajna disana,
untuk memarisudha para pengiring Wong Aga
- Nya yang banyak meninggal dunia pada waktu
merabas hutan dalam perjalanan dharmayatra
dan tirhayatra yang pertama, karena alpa melakukan
Upacara Matur Piuning kehadapan Ida Bahtara
To (Toh ) Langkir, yang bersthana di agraning
Gunung Agung.
Di desa - desa yang dilalui, atau tempat
para pengiring Maharsi Markandya merabas hutan,
agar mendapat kerahayon bagi para pengiringnya,
banyak dibangun parhyangan - parhyangan atau
pura-pura yang menjadi amongan, emponan sekaligus
sebagai panyiwi dan panyungsung Krama Desa
Adat,yang menjadi lokasi pura - pura yang
di bangun dalam perjalanan dharmayatra dan
tirthayatra Maharsi Markandhya bersama rombongannya
pada waktu dulu.
|
|
Seperti Pura
Gunung Lebah, yang di bangun di hulu campuhan
Tukad yeh Wos kiwa - tegen, dan di bagian selatan
pukuhing Gunung Lebah, di samping menjadi emponan
dan amongan Puri Ubud, juga menjadi penyungsungan
dan penyiwian Krama Desa - desa yang berlokasi
di sekitar Desa Adat Ubud dan Gunung Lebah,
dengan Campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa - Tengen,
yang mengalir ke selatan di bagian kaki kiri
dan kanan Gunung Lebah itu. Setelah mendirikan
pura Gunung Lebah, di kaki Gunung Lebah dan
di hulu Campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa - Tengen,
(penulis; Sekarang lebih dikenal oleh masyarakat
umum, termasuk duranagara atau luar negeri,
sebagai Campuhan Ubud), kemudian dalam perjalanan
dharmayatra dan tirhayatra Maharsi Markandhya
selanjutnya di tempat yang teduh, dan bagus
untuk melakukan yoga samadhi,yang berlokasi
di sebelah utara Gunung Lebah, didirikan Pura
Payogan, dan desanya di sebut Desa Adat Payogan;
sekarang juga pada saat melanjutkan perjalanan
ke arah utara lagi, di Desa Adat Payangan ;
sekarang, didirikan Pura Murwa, di tangkup dibangun
Bale Agung yang panjang, yang di jadikan Pura
Desa, sekarang oleh Krama Desa Adat Pahyangan
(Payangan) itulah ada rombongan kecil menghadap
Maharsi Markandhya, untuk mememohon dan petunjuk
lokasi hutan yang boleh dirabas. Maharsi Markandhya
lalu memberi petunjuk agar hutan yang dirabas
adalah yang berlokasi di seberang selatan Desa
Adat Payangan. Rombongan kecil yang merabas
hutan di sebelah Selatan Desa Adat Payangan
itu, adalah cikal - bakal dan nenek moyang,
yang menurunkan Karama Desa Adat Kedewatan sekarang.
Karena di sekitar kawasan Gunung Lebah dengan
Campuhan Tukad Yeh Wos Kiwa - Tengen adalah
kawasan yang memiliki cara spiritual dan tepat
suci, (Payogan, Pahyangan), maka desa itu disebut
Desa Kedewatan, (Desa Adat Kedewatan ; sekarang),
karena desa itu adalah Desa Kedewataan Kedewatan),
parhyangan (Pura) yang didirikan di sana, di
sebut Pura Dalem Swarga, (Pura Dalem Swargan
).
Pemugaran, persembahan dan
pemujaan Karya Agung Mamungkah, Tawur, Mapedanan
mwang Panyegjeg Bhumi, memiliki multi fungsi
goals, terutama dalam usaha dan upaya Krama
Desa Adat bersama segenap fungsionaris Desa
Adat Kedewatan meningkatkan sradha dan bhakti.
Persembahan dan pemujaan Karya Agung Mamungkah,
dengan segenap aed (rangkaiannya) adalah tergolong
karya tingkat puncak di tingkat Desa Pakraman
(Desa Adat), yang membutuhkan yajnakarma dan
danakarma yang besar, yang dalam kebersamaan
oleh Desa Adat Kedewatan telah dapat dipenuhi
dan dilaksanakan sepatutnya. Selaras dengan
pendakian dan peningkatan sradha dan bhakti
melalui swadharma agama, untuk ngupahayu Pura
Dalem Swargan secara fisik dengan tata upacara
sesuai dengan tuntunan Wiku, pada dasarnya Krama
Desa Adat Kedewatan, telah melakukan istapurta,
(punia, yajna, perbuatan kebaktian dan kebajikan
), yang semuanya tergolong yasakirti, dalam
hidup dan kehidupan. |
|
Dalam proses dan rangkaian persembahan dan
pemujaan Karya Agung Mamungkah di Pura Dalem
Swargan, setelah selesai pemugaran, di samping
memiliki aspek-aspek goals spiritual, juga
dalam kebersamaan dapat semakin menumbuhkan
rasa tanggung jawab sekala dan niskala berdasarkan
gunakarma dan yoni masing-masing individu
maupun kelompok, agar persembahan dan pemujaan
Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur,
Mapedanan mwang Panyegjeg Bhumi di Pura Dalem
Swargan, dapat sidaning don (berhasilguna
dan berdayaguna) secara sekala dan niskala.
Untuk mencapai upaya dan usaha itu, harus
didukung oleh sikap dan prilaku semua pihak
yang sebagai pelaksana langsung atau tidak
langsung dalam proses dan rangkaian persembahan
dan pemujaan yajnya itu, yang selaras dan
memiliki titik temu dengan ajaran etika pada
umumnya dan ajaran tata susila agama pada
khususnya. Sesuai dengan tuntunan beberapa
riptaprasasti, yakni lontar-lontar yang memuat
tuntunan ajaran filsafat, tata susila, sasana-sasana,
bahwa penekanan landasan etik dalam persembahan
dan pemujaan yajnya, sangat diutamakan. Bahkan
persembahan dan pemujaan yajnya dengan sadhana
bhaktiupakara (banten) yang elaborate dan
pas dengan tuntunan berbagai Lontar Mpu Lutuk
dan Lontar Prembon Babantenan, sering dikemukakan
tidak berhasil, (tan sida gawenya, tan sidaning
don), sehingga persembahan dan pemujaan yajna
'sing mupu'. Sehingga agar yajna menjadi mupu,
harus dilandasi oleh sikap dan prilaku nekengtwas,
lascarya, tan wirosa mwang rodra, tan ujar
angangsul mwang wakcala, dan sebagainya sikap
dan prilaku mulia lainya.
|
|
|
|
|
|
|
|
|