Pura Bukit Jati
 
 
Pura Bukit Jati
Nilai Kehidupan di Balik Pura Bukit Jati

Di Pura Bukit Jati di Desa Samplangan, Gianyar terdapat banyak pelinggih. Ada pelinggih utama dan ada yang pelengkap. Secara umum di setiap tempat pemujaan Hindu di Bali selalu ada pelinggih untuk Dewa Pratistha dan ada pelinggih untuk Atma Pratistha. Pelinggih untuk Dewa Pratistha adalah pelinggih untuk memuja para Dewa manifestasi Tuhan. Pelinggih Atma Pratistha tempat pemujaan roh suci leluhur dengan fungsi Tuhan yang dipuja. Nilai-nilai kehidupan seperti apa yang tersirat di balik Pura Bukit Jati itu?

Fungsi Tuhan yang menjadi jiwa Bhur Loka disebut Dewa Siwa. Yang menjiwai Bhuwah Loka disebut Sada Siwa. Disebut Parama Siwa adalah Tuhan yang menjadi jiwa Swah Loka. Demikian seterusnya Tuhan Yang Maha Esa itu dipuja dalam ribuan nama Dewa. Karena memang Tuhan itu Mahakuasa dan Maha Ada.

Di Pura Bukit Jati, Tuhan dipuja dalam berbagai fungsi dengan berbagai manifestasinya. Menurut nama-nama pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati itu menandakan bahwa pemujaan Tuhan di Pura Bukit Jati bertujuan memotivasi berbagai aspek kehidupan. Dalam tradisi Hindu di Bali pemujaan Tuhan didayagunakan untuk memotivasi berbagai aspek kehidupan agar hidup itu diselenggarakan dengan memulainya dan memohon tuntunan Hyang Widhi. Tentunya hal ini amat tergantung pada kecerdasan umat menerjemahkan simbol-simbol sakral pemujaan itu ke dalam kehidupannya sehari-hari.

Misalnya adanya arca Jalandwara Makara adalah untuk memotivasi pemeliharaan kesucian dan kelancaran air dengan melindungi sumber-sumbernya dari pencemaran dari perilaku oknum yang ceroboh pada kedudukan air dalam kehidupan ini. Pelinggih Padma dan Meru sebagai pemujaan pada Tuhan sebagai Sada Siwa dan roh suci leluhur.

Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan bahwa Pelinggih Padmasana sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sada Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa alam Bhuwah. Demikian pula adanya pelinggih Ida Batara Puncak, ada Gedong Lebah ada Pelinggih Ida Batara Segara. Hal ini mengingatkan kita pada sistem pemujaan Tuhan sebelum Mpu Kuturan menjadi Bhagawanta Kerajaan di Bali ada tiga tempat pemujaan yaitu: Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak.

Melihat adanya Pelinggih Ida Batara Segara, adanya Gedong Lebah amat identik dengan keberadaan Pura Penataran dan adanya Pelinggih Ida Batara Puncak. Tiga tempat pemujaan pada Tuhan ini memotivasi umat Hindu di Bali agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak Tri Bhuwana. Lebih khusus lagi untuk di Bali dengan memuja Tuhan dengan simbol sakral di pelinggih Segara, pelinggih Gedong Lebah dan pelinggih Puncak berarti umat di Bali dimotivasi untuk memelihara kelestarian segara, dataran rendah dan daerah perbukitan serta pegunungan.

Dengan berfungsinya sumber-sumber alam tersebut secara terpadu kehidupan di Bali ini akan berlangsung dengan baik, benar dan wajar. Apalagi di bagian luar atau jaba sisi dari Pura Bukit Jati ini ada Pancoran. Hal ini sebagai kelanjutan dari konsep pemeliharaan air agar senantiasa terus mengalir tanpa tercemar yang disimbolkan dengan adanya arca Jalandwara.

Pancoran itu ada di jaba sisi. Berarti air yang mengalir itu hendaknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, bukan untuk golongan masyarakat kelas atas saja. Demikian juga Pelinggih Pesamuan yang berada di bagian tengah di Utama Mandala di depan Pelinggih Gedong dan Meru. Dalam prosesi upacara terutama saat upacara piodalan di pura, fungsi Balai Pesamuan itu sebagai media simbolis Ida Batara tedun menerima persembahan upacara piodalan dari umat dan juga sebagai simbol Ida Batara Ngeluhur kembali ke stananya di Padma, Meru dan Gedong.

Pesamuan juga berarti pertemuan atau juga berarti bermusyawarah. Melalui Pelinggih Pesamuan ini umat hendaknya termotivasi untuk senantiasa bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu terutama yang menyangkut orang banyak. Ini berarti lewat Pelinggih Pesamuan tersebut umat Hindu di Bali dimotivasi untuk hidup bersama secara demokratis.

Secara ritual memang disimbolkan bahwa semua Ida Batara mengadakan pesamuan di Pelinggih Pesamuan saat upacara piodalan dalam rangka menerima persembahan saat upacara dan melimpahkan sweca atas baktinya umat pada Ida Batara, terutama saat upacara piodalan tersebut. Itulah fungsi simbolis dari Pelinggih Pesamuan.

Di sebelah timur dari Pelinggih Pesamuan ada Pelinggih untuk Ida Batara di Gunung Agung. Gunung Agung sebagai simbol hulunya Bali atau dinyatakan dalam lontar bahwa Besakih Pinaka Huluning Bali Rajya. Meskipun Pura Bukit Jati ada di pusat Kerajaan Linggarsa Pura maka lewat pemujaan di Pelinggih Gunung Agung itu diingatkan agar umat di Bali tidak lupa pada hulu atau kepalanya Pulau Bali simbol Padma Bhuwana.

Pura Besakih adalah tergolong Pura Rwa Bhineda dan Pura Besakih sendiri sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pura Pradana-nya. Purusa artinya jiwa atau hidup. Umumnya pura di Bali senantiasa memiliki Pelinggih Penyawangan ke Gunung Agung dan Gunung Batur. Ini melambangkan bahwa dalam hidup ini manusia haruslah berupaya menyeimbangkan pembangunan kehidupan jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana.

Di Pura Bukit Jati terdapat juga Pelinggih Manjangan Saluwang, bahkan ada dua yaitu terletak di deretan timur di Utama Mandala sebelah selatan Gedong Lebah. Ada juga di deretan utara di barat Pelinggih Pesamuan. Pelinggih Manjangan Saluwang itu umumnya diyakini sebagai pemujaan pada Mpu Kuturan yaitu orang suci yang sebelumnya menjabat sejenis perdana menteri kerajaan pada abad ke-11 Masehi.

Hal ini menggambarkan bahwa di Pura Bukit Jati ada suatu motivasi untuk mendidik generasi penerus agar tidak melupakan jasa-jasa mulia leluhur di masa lampau. Lebih-lebih terhadap Mpu Kuturan yang amat besar jasanya pada proses penerapan ajaran Hindu di Bali pada zamannya. Apa yang beliau warisi sampai sekarang tidak lekang oleh dinamika zaman. Beliaulah yang dapat disebut hidup tanpa napas sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sarasamuscaya. Kalau kita senantiasa berbuat melawan dharma dalam hidup ini disebut mayat bernapas.

* wiana

Pura Bukit Jati di Samplangan Gianyar
Labhante brahmanirvana
rsayah ksinakalmasah
chinnadvanidha yatatmanah
sarvabhutahite ratah.
(Bhagawad Gita V.25).

Maksudnya:
Orang suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam Ketuhanan.

Untuk mencapai peningkatan kesucian rohani tidaklah hanya melakukan sembahyang di pura saja. Penyucian diri juga akan dicapai apabila sembahyang itu dilanjutkan dengan senantiasa melakukan upaya-upaya nyata menjaga kesejahteraan isi alam. Misalnya dengan menjaga kelestarian lima unsur alam yang disebut Panca Maha Bhuta dengan segala makhluk hidup yang tumbuh berkembang dari Panca Maha Bhuta tersebut.

Mereka yang senantiasa melakukan upaya-upaya menyejahterakan kehidupan makhluk hidup tersebut kitab suci Bhagawad Gita menjanjikan jalan untuk mencapai Brahma Nirwana atau disebut sorga dalam istilah yang lebih umum. Lebih-lebih mereka yang memiliki kewenangan untuk memimpin publik seperti penguasa kerajaan pada zaman dahulu.

Demikian pula halnya saat awal kekuasaan Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali yang pada awalnya berpusat di Samplangan di timur kota Gianyar. Pusat Kerajaan Dinasti Ida Dalem Kresna Kepakisan itu bernama Linggarsa Pura. Kata ”linggarsa pura” ini berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ”lingga”, ”arsa” dan ”pura”. Lingga artinya stana atau di Bali disebut ”linggih”. Arsa artinya kemauan atau hasrat mulia, pura artinya tempat. Dengan demikian kata ”linggih pura” itu berarti tempat untuk menstanakan atau mengembangkan kemauan mulia.

Salah satu cara mengembangkan kemauan mulia sang raja adalah mengajak rakyat untuk memuja Tuhan sebagai langkah awal mengembangkan kehidupan yang mulia. Salah satu caranya dengan mendirikan tempat-tempat pemujaan Tuhan di tempat-tempat yang strategis. Tempat strategis itu adalah tempat untuk melestarikan alam dan memajukan kehidupan bersama dalam masyarakat berdasarkan Rta dan Dharma.

Demikianlah kebijaksanaan raja di Linggarsa Pura membangun pura dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tempat-tempat pemujaan yang sudah ada. Seperti halnya di Bukit Jati di utara Desa Samplangan, Gianyar itu dikembangkan menjadi tempat pemujaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.

Pura Bukit Jati sebuah pura kuna yang berada di Desa Samplangan di timur kota Gianyar. Pura Bukit Jati ini terletak di bukit yang tidak terlalu tinggi dan sangat indah.

Bukit Jati ini tersembul muncul di daratan Gianyar sepertinya diciptakan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan udara kota Gianyar. Di Pura Bukit Jati ini memang sebelumnya sudah ada beberapa peninggalan zaman magalitikum. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa tempat ini saat pemerintahan sebelum Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah menjadi tempat yang bernuansa spiritual.

Dinasti Dalem berkuasa tahun 1343 Masehi menggantikan Raja Bali Kuna yang terakhir yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Dalam naskah lontar di Bali, Raja ini disebut Sri Tapolung. Sayang Samplangan sebagai pusat pemerintahan Ida Dalem tidak lama bertahan di Samplangan. Tahun 1380 Masehi pusat pemerintahan Dalem pindah ke Gelgel dengan nama Sweca Pura.

Meskipun demikian, Pura Bukit Jati sampai saat ini masih tetap dijadikan tempat pemujaan oleh umat Hindu. Di balik Pura Bukit Jati itu terdapat nilai-nilai kehidupan yang universal yang patut kita renungkan kembali untuk dijadikan landasan dalam menapaki kehidupan ke depan. Pura Bukit Jati adalah tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan alam lingkungan dan masyarakat. Di Pura Bukit Jati ini ada peninggalan arkeologi dalam bentuk makara yaitu arca kepala dengan fungsi tertentu. Misalnya ada arca Bhoma yang berfungsi untuk menggambarkan dewa pohon-pohonan. Kata ”bhoma” dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Di Pura Bukit Jati ini ada arca Jalandwara Makara.

Jalandwara berasal dari kata ”jal” artinya air dan ”dwara” artinya pintu. Jalandwara Makara itu simbol sakral untuk melancarkan jalannya air di bumi ini. Jalandwara Makara ini juga berarti tidak boleh mengotori air sehingga jalannya air ke tengah-tengah masyarakat itu dapat memberi kehidupan yang baik dan benar. Air dalam Canakya Nitisastra itu dinyatakan sebagai salah satu ”ratna permata bumi” di samping tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak atau Subha Sita. Latar belakang spiritual keberadaan tempat pemujaan Bukit Jati dalam sistem sekte Siwa Pasupata itu dilanjutkan dalam sistem pemujaan Siwa Sidhanta.

Peninggalan megalitik dalam kebudayaan Hindu di Bali umumnya dipakai saat Hindu Sekte Siwa Pasupata yang berkembang di Bali, terutama yang menyangkut penggunaan arca sebagai murthi puja atau arca perwujudan. Saat Hindu Sekte Sidhanta yang berkembang simbol pemujaan digunakan sistem pelinggih dengan ista dewata tertentu. Di Pura Bukit Jati sekarang nilai-nilai universal sebagai tujuan pemujaan pada Tuhan itu tetap dilanjutkan dalam wujud yang berbeda.

Keberadaan berbagai pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati tersebut sangat nampak melanjutkan nilai-nilai universalitas tersebut dengan simbol-simbol yang lebih lengkap sesuai dengan kebutuhan sistem pemujaan dalam Siwa Sidhanta.

Demikianlah memang proses pemeliharaan tradisi Hindu. Aspek Sanatana Dharma tetap tidak boleh berubah tetapi ada konsep Nutana yaitu ada proses peremajaan wujud sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi nilai yang diaplikasikan tetap yang kekal abadi dan universal sepanjang zaman. Di Pura Bukit Jati tersebut terdapat 26 bangunan suci.

Ada bangunan utama dan ada yang pelengkap. Bangunan sakral yang utama itu adalah Padmasana, Meru, Gedong Lebah, Pelinggih Manjangan Saluwang, Pelinggih Segara, Pelinggih Ratu Puncak, Pelinggih Ngerurah dan Pancoran. Semua bangunan sakral yang utama itu melanjutkan nilai spiritual sebelumnya untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan di Pura Bukit Jati itu. * I Ketut Gobyah

http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2007/8/22/bd2.htm