Maksudnya:
Orang suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya
telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang
tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan
isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam
Ketuhanan.
Untuk mencapai peningkatan kesucian rohani tidaklah hanya
melakukan sembahyang di pura saja. Penyucian diri juga akan
dicapai apabila sembahyang itu dilanjutkan dengan senantiasa
melakukan upaya-upaya nyata menjaga kesejahteraan isi alam.
Misalnya dengan menjaga kelestarian lima unsur alam yang
disebut Panca Maha Bhuta dengan segala makhluk hidup yang
tumbuh berkembang dari Panca Maha Bhuta tersebut.
Mereka yang senantiasa melakukan upaya-upaya menyejahterakan
kehidupan makhluk hidup tersebut kitab suci Bhagawad Gita
menjanjikan jalan untuk mencapai Brahma Nirwana atau disebut
sorga dalam istilah yang lebih umum. Lebih-lebih mereka
yang memiliki kewenangan untuk memimpin publik seperti penguasa
kerajaan pada zaman dahulu.
Demikian pula halnya saat awal kekuasaan Dinasti Ida Dalem
Ketut Kresna Kepakisan di Bali yang pada awalnya berpusat
di Samplangan di timur kota Gianyar. Pusat Kerajaan Dinasti
Ida Dalem Kresna Kepakisan itu bernama Linggarsa Pura. Kata
”linggarsa pura” ini berasal dari bahasa Sansekerta
dari kata ”lingga”, ”arsa” dan ”pura”.
Lingga artinya stana atau di Bali disebut ”linggih”.
Arsa artinya kemauan atau hasrat mulia, pura artinya tempat.
Dengan demikian kata ”linggih pura” itu berarti
tempat untuk menstanakan atau mengembangkan kemauan mulia.
Salah satu cara mengembangkan kemauan mulia sang raja adalah
mengajak rakyat untuk memuja Tuhan sebagai langkah awal
mengembangkan kehidupan yang mulia. Salah satu caranya dengan
mendirikan tempat-tempat pemujaan Tuhan di tempat-tempat
yang strategis. Tempat strategis itu adalah tempat untuk
melestarikan alam dan memajukan kehidupan bersama dalam
masyarakat berdasarkan Rta dan Dharma.
Demikianlah kebijaksanaan raja di Linggarsa Pura membangun
pura dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tempat-tempat
pemujaan yang sudah ada. Seperti halnya di Bukit Jati di
utara Desa Samplangan, Gianyar itu dikembangkan menjadi
tempat pemujaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat
saat itu.
Pura Bukit Jati sebuah pura kuna yang berada di Desa Samplangan
di timur kota Gianyar. Pura Bukit Jati ini terletak di bukit
yang tidak terlalu tinggi dan sangat indah.
Bukit Jati ini tersembul muncul di daratan Gianyar sepertinya
diciptakan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan udara
kota Gianyar. Di Pura Bukit Jati ini memang sebelumnya sudah
ada beberapa peninggalan zaman magalitikum. Hal ini dapat
dijadikan bukti bahwa tempat ini saat pemerintahan sebelum
Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah menjadi tempat
yang bernuansa spiritual.
Dinasti Dalem berkuasa tahun 1343 Masehi menggantikan Raja
Bali Kuna yang terakhir yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Dalam naskah lontar di Bali, Raja ini disebut Sri Tapolung.
Sayang Samplangan sebagai pusat pemerintahan Ida Dalem tidak
lama bertahan di Samplangan. Tahun 1380 Masehi pusat pemerintahan
Dalem pindah ke Gelgel dengan nama Sweca Pura.
Meskipun demikian, Pura Bukit Jati sampai saat ini masih
tetap dijadikan tempat pemujaan oleh umat Hindu. Di balik
Pura Bukit Jati itu terdapat nilai-nilai kehidupan yang
universal yang patut kita renungkan kembali untuk dijadikan
landasan dalam menapaki kehidupan ke depan. Pura Bukit Jati
adalah tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan
alam lingkungan dan masyarakat. Di Pura Bukit Jati ini ada
peninggalan arkeologi dalam bentuk makara yaitu arca kepala
dengan fungsi tertentu. Misalnya ada arca Bhoma yang berfungsi
untuk menggambarkan dewa pohon-pohonan. Kata ”bhoma”
dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Di Pura Bukit Jati
ini ada arca Jalandwara Makara.
Jalandwara berasal dari kata ”jal” artinya
air dan ”dwara” artinya pintu. Jalandwara Makara
itu simbol sakral untuk melancarkan jalannya air di bumi
ini. Jalandwara Makara ini juga berarti tidak boleh mengotori
air sehingga jalannya air ke tengah-tengah masyarakat itu
dapat memberi kehidupan yang baik dan benar. Air dalam Canakya
Nitisastra itu dinyatakan sebagai salah satu ”ratna
permata bumi” di samping tumbuh-tumbuhan dan kata-kata
bijak atau Subha Sita. Latar belakang spiritual keberadaan
tempat pemujaan Bukit Jati dalam sistem sekte Siwa Pasupata
itu dilanjutkan dalam sistem pemujaan Siwa Sidhanta.
Peninggalan megalitik dalam kebudayaan Hindu di Bali umumnya
dipakai saat Hindu Sekte Siwa Pasupata yang berkembang di
Bali, terutama yang menyangkut penggunaan arca sebagai murthi
puja atau arca perwujudan. Saat Hindu Sekte Sidhanta yang
berkembang simbol pemujaan digunakan sistem pelinggih dengan
ista dewata tertentu. Di Pura Bukit Jati sekarang nilai-nilai
universal sebagai tujuan pemujaan pada Tuhan itu tetap dilanjutkan
dalam wujud yang berbeda.
Keberadaan berbagai pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati
tersebut sangat nampak melanjutkan nilai-nilai universalitas
tersebut dengan simbol-simbol yang lebih lengkap sesuai
dengan kebutuhan sistem pemujaan dalam Siwa Sidhanta.
Demikianlah memang proses pemeliharaan tradisi Hindu. Aspek
Sanatana Dharma tetap tidak boleh berubah tetapi ada konsep
Nutana yaitu ada proses peremajaan wujud sesuai dengan perkembangan
zaman. Tetapi nilai yang diaplikasikan tetap yang kekal
abadi dan universal sepanjang zaman. Di Pura Bukit Jati
tersebut terdapat 26 bangunan suci.
Ada bangunan utama dan ada yang pelengkap. Bangunan sakral
yang utama itu adalah Padmasana, Meru, Gedong Lebah, Pelinggih
Manjangan Saluwang, Pelinggih Segara, Pelinggih Ratu Puncak,
Pelinggih Ngerurah dan Pancoran. Semua bangunan sakral yang
utama itu melanjutkan nilai spiritual sebelumnya untuk mengimplementasikan
nilai-nilai kehidupan di Pura Bukit Jati itu. * I Ketut
Gobyah
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2007/8/22/bd2.htm
|