Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara)
distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri
Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja
sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana.
Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan,
tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara
piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan
dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.
Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di
areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang
paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah
Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura PeDarman.
Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma
atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura
ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh
kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa
proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak
dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti
sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama
Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan
Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.
Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan
Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil
menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat
menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai
dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian
bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya
membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur
dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali.
Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan
kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama
Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk
agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama
Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah
kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya
Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat
Bali.
Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan
Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali
mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar
Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana
saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk
Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali
tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang
seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll.
itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering
disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa
Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media
untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya.
Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap
ajaran agama Hindu secara halus.
Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak
zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan
Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya
Darma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb:
Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara
lumahing banyu weka.
Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah
ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat
dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri,
Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan
berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak
berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli
Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak
mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada
saat ini.
Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat
kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita
ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India
dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang
melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan.
Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena
raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor
lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam
tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.
Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti.
Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian
Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut
dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi
di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi
Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya
Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja.
Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.
Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April
dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan
kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati
selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari
melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati
dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.
Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang
meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan
Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah
terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang
pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan
Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.
Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri
itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata
untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang
duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk
membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani
menuju kehidupan yang cerah. * wiana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/1/bd2.htm |