NIYASA STANA HYANG
WIDHI.
Pelinggih Padmasana adalah niyasa atau
symbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutan:
-
Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang
terlihat/ dirasakan manusia sebagai matahari atau "Surya"
-
Sanghyang Tri Purusa, dalam tiga manifestasi
yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa
dan Parama Siwa.
Memperhatikan makna niyasa seperti di atas,
jelaslah bahwa Padmasana adalah niyasa yang digunakan oleh
Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi
Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa.
Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana
adalah Pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.
HIASAN PADMASANA.
Hiasan Padmasana adalah:
-
Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu
ukiran "mpas" (kura-kura besar) yang
dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah symbol dasar
bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga
adalah symbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam
semesta. Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana 'bheda"
artinya: lain, kelompok, selisih; "wang"
artinya: peluang, kesempatan; "nala"
artinya: api. Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok
(kesatuan) yang meluangkan adanya api. Api di sini bisa
dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat
juga dalam arti symbol lain yaitu energi kekuatan hidup.
Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka symbol
bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan
Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna
sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa
perlu ditumbuh kembangkan.
-
Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan
di bagian tengah belakang, adalah symbol Hyang Widhi
dalam manifestasi sebagai pemelihara.
-
Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah
symbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai:
pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan
kesucian.
-
Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah
symbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat,
dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat
dirasakan.
-
Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang
boma, karang bun, karang paksi, dll.
yang semuanya bermakna sebagai symbol keaneka ragaman
alam semesta.
Kesimpulan arti symbolis dari semua bentuk
Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya
telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam
semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga
kelanggengan hidupnya.
BENTUK-BENTUK PADMASANA
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana,
dibedakan adanya lima jenis Padmasana yaitu:
-
Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala,
bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan
selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.
-
Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat
lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain
sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang
Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/
kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda
misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa)
- kanan (penengen), dst.
-
Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat
lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain
sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang
Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal
yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa.
-
Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala,
bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan
hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa.
-
Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala,
bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan
untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
Baruna (Dewa lautan).
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana
itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan
upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari
piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah
penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin "utama"
bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
LETAK PADMASANA.
Letak Padmasana menurut arah mata angin
(pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
No |
Nama |
Letak di |
Menghadap ke |
1 |
Padma Kencana |
timur (purwa) |
barat (pascima) |
2 |
Padmasana |
selatan (daksina) |
utara (uttara) |
3 |
Padmasari |
barat (pascima) |
timur (purwa) |
4 |
Padma lingga |
utara (uttara) |
selatan (daksina) |
5 |
Padma asta sedhana |
tenggara (agneya) |
barat laut (wayabya) |
6 |
Padma noja |
barat daya (nairity) |
timur laut (airsaniya) |
7 |
Padma karo |
barat laut (wayabya) |
tenggara (agneya) |
8 |
Padma saji |
timur laut (airsanya) |
barat daya (nairity) |
9 |
Padma kurung |
tengah-tengah Pura (madya) |
pintu keluar/ masuk (pemedal) |
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan
letak Pura dan konsep "hulu - teben". Filsafat
hulu - teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang
Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti
organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan
dan kaki. Perhatikan gambar symbol Acintya. Kepala dikatakan
sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben.
Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan
kehidupan "sekala" (nyata) dan "niskala"
(tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura.
Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai "utama
mandala", bagian yang kurang sakral disebut sebagai
"madya mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut
sebagai "nista mandala". Hulu - Teben memakai
dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben,
atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai
hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam
pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua
mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai
pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung
dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan.
Tiada kehidupan tanpa air.
Dalam membangun Padmasana, jika memakai
Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah
timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu
maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya di daerah Den Bukit
(Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan
maka sesuai letaknya dibangun Padmasana. Sebaliknya di selatan
"bukit" (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali
selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya
dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur
di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai
letaknya dibangun Padma sari. Demikian seterusnya. Pemilihan
letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan,
misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit
memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu - teben seperti
di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih
alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi
seperti tersebut di atas.
MEMILIH LOKASI
Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan
jagat artinya yang permanen dan akan digunakan selamanya
serta untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar,
perlu memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan
yang sudah ditetapkan dalam Lontar Keputusan Sanghyang Anala,
lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh
Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana, aturan
ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan,
dan perumahan.
LOKASI YANG BAIK:
-
Lebih tinggi di Barat (dari arah pusat kota atau dari
arah jalan raya). Disebut "manemu labha" di
mana sinar matahari tidak terhalang sejak pagi sampai
sore, membawa keberuntungan dan umur panjang.
-
Lebih tinggi di arah laut, disebut "paribhoga
wredhi", membawa kemakmuran yang melimpah bagi
penghuninya.
-
Rata (dengan jalan atau pusat kota) disebut "madya"
tidak ada keistimewaan artinya biasa-biasa saja, namun
dengan syarat: sinar matahari, udara dan air tersedia
cukup tidak terhalang apapun.
-
Ketika berada di atas tanah itu perasaan damai, tentram
dan hening, walaupun lokasi itu tidak memenuhi persyaratan
seperti nomor 1,2,3 di atas, disebut "dewa ngukuhi",
membawa ketentraman bathin dan kedamaian.
-
Tanah berbau pedis ketika dicongkel sedalam 30 Cm,
disebut "sihing kanti" sangat baik karena
akan mempunyai banyak sahabat.
HINDARI LOKASI YANG BERIKUT INI,
disebut "palemahan hala" :
1 |
ucem |
Tanah yang berwarna hitam, selintas kelihatan seperti
kotor, disebut "ucem", membawa sial |
2 |
melekpek |
Lokasi di mana kita merasa panas tidak wajar, disebut
"melekpek", membawa bencana pertikaian, perkelahian,
tidak damai. |
3 |
manyeleking |
Lokasi dalam satu batasan pagar yang ditempati oleh
lebih dari satu keluarga yang tidak ada hubungan darah,
disebut "manyeleking", membuat kesehatan sering
terganggu |
4 |
sandang lawe |
Berhadapan dengan pertigaan atau perempatan jalan
disebut "sandang lawe" atau tusuk sate, membuat
penghuni sakit-sakitan. |
5 |
sula nyupi |
Lokasi dikelilingi jalan, disebut "sula nyupi",
membawa sial |
6 |
kuta kabanda |
Lokasi di muka dan di belakang atau di samping kiri
dan kanan ada jalan umum (di apit jalan), disebut "kuta
kabanda", membawa bencana |
7 |
teledu nginyah |
Lokasi di samping tanah kosong sandang lawe (lihat
nomor 4), disebut "teledu nginyah", membawa
kesusahan hidup dan kesehatan sering terganggu. |
8 |
karang grah |
Lokasi bersebelahan (kurang dari jarak "apenimpug",
"apeneleng" yaitu sekitar 200 - 300 meter)
dengan Pura Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan, Sad Kahyangan,
disebut "karang grah", sering dimasuki pencuri,
dan tidak merasa tentram karena selalu terancam bahaya. |
9 |
amada-mada Bhatara |
Dua bidang tanah yang saling berhadapan namun dibatasi
jalan raya, kedua-duanya dimiliki oleh satu orang atau
satu keluarga, disebut "amada-mada Bhatara",
membuat penghuninya selalu sedih dan sakit-sakitan. |
10 |
boros wong |
Satu bangunan namun mempunyai dua pintu masuk/keluar
yang sama ukuran dan bentuknya disebut " boros
wong" membuat penghuninya sulit ekonominya, serba
kekurangan, dan susah menabung. |
11 |
suduk angga |
Satu bangunan di mana air limbahan, atau air hujan
dari atap jatuh kepekarangan orang lain, maka tanah
yang ketimpa air limbah itu disebut "suduk angga"
membawa sial dan sakit-sakitan. |
KARANG KEBAYA-BAYA.
Selain "palemahan hala" seperti
yang dikemukakan di atas, perlu juga dihindari tanah pekarangan
yang disebut "karang kebaya-baya" yaitu:
1 |
NEMU BAYA |
ketika berada di tengah-tengah pekarangan, perasaan
seperti sunyi dan takut, walaupun ada banyak orang dan
banyak rumah di sekitarnya. Untuk menyimak hal ini perlu
berada di tanah itu beberapa saat, sekitar 30 menit
dengan mengkonsentrasikan pikiran. Jika benar demikian,
penghuninya akan mendapat berbagai bahaya. |
2 |
KARANG TENGET |
tanah bekas pura atau sanggah pamerajan, bekas kuburan,
dan bekas Geria atau pertapaan Sulinggih. Jika ditempati
akan membawa bencana perkelahian. |
3 |
BHUTA SALAH WETU |
di tanah pekarangan itu pernah ada binatang melahirkan
tidak wajar, misalnya babi atau anjing beranak satu,
sapi atau binatang yang mestinya berkaki empat lahirnya
hanya berkaki tiga atau kurang, pohon pisang keluar
tandannya dari tengah-tengah batang, pohon kelapa di
atasnya bercabang dua, dll. jika dibangun perumahan
atau Pura akan membawa bencana kemalangan. |
4 |
BHUMI SAYONGAN |
dari dalam tanah keluar asap misterius tanpa bekas
pembakaran, dan banyak binatang tabuhan atau nyawan
berterbangan apalagi membuat sarang. Penghuninya nanti
akan mendapat kecelakaan. |
5 |
OONG BAYA |
ada cendawan tumbuh liar, pertanda penghuninya kelak
akan mendapat kesulitan hidup. |
6 |
TOYA BAYA |
jika ada air berwarna kemerahan seperti darah keluar
dari dalam tanah membawa akibat penghuninya sering berkelahi
bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. |
PANGUPA HAYU,
adalah usaha untuk menghindarkan bahaya-bahaya
yang mengancam, karena "palemahan hala" dan "karang
kebaya-baya". Bila terpaksa harus membangun di tanah-tanah
kurang baik seperti tersebut di atas, lakukan hal-hal sebagai
berikut:
-
Untuk pekarangan "sandang lawe", buatkan
padma capah tepat di arah jalan dari depan, di mana
distanakan Sanghyang Indra Balaka.
-
Untuk pekarangan: "sula nyupi", "kuta
kebanda", dan "teledu nginyah" di tengah-tengah
pekarangan dibuat padma capah di mana distanakan Sanghyang
Dhurgamaya.
-
Untuk "karang grah" dibuatkan bangunan "sombah"
yaitu tembok pagar yang berlubang sebagai symbol keluar-masuknya
Sang Kala Awengku Rat.
-
Untuk tanah-pekarangan lain-lain yang termasuk palemahan
hala dan karang kebaya-baya agar dibuatkan banten caru
dengan tingkatan yang lebih besar misalnya "manca
sanak", "manca kelud", dan "balik
sumpah.
|