Om Swastyastu,
Penemuan Candi Rancaekek yang merupakan bukti sahih bagi kejayaan Hindu di Tatar Sunda pada jaman dahulu membuat beberapa pihak kebakaran jenggot.
Ketakutan akan kembalinya kejayaan Hindu di Tataran ini "memaksa"
pihak-pihak tertentu menulis justifikasi-justifikasi yang membuat kita yang
membacanya geleng-geleng kepala. Pada tulisan yang berjudul "Raja Sunda
tidak Melarang Rakyatnya Pindah Agama", tampak sekali ketakutan itu.
Silahkan disimak.-
-igm-
ARTIKEL
Rabu, 23 Oktober 2002
Raja Sunda tidak Melarang Rakyatnya Pindah Agama
Oleh AYATROHAEDI
APA yang dilakukan Hageman hampir 150 tahun yang lalu (1867) adalah suatu
"keberanian". Tanpa menyebutkan sumbernya, ia mengatakan bahwa Haji Purwa
adalah orang Islam pertama yang berdiam di wilayah Negara Galuh tahun 1337.
Tokoh itu sedemikian jauh belum diketahui jatidirinya karena rupanya
orang-orang sesudah Hageman pun tidak ada yang tertarik untuk melacaknya.
Akibatnya, kebenaran berita yang diembarkan Hageman itu tidak pernah
memuaskan, bahkan terdapat kecenderungan untuk menganggap berita itu tidak
lebih dari "petai hampa", sesuatu yang secara ilmiah tidak usah
dipertimbangkan.
Namun, penelitian mutakhir mengenai masa silam Tatar Sunda, terutama yang
didasarkan pada telaah naskah lama yang ditemukan di berbagai daerah,
mengharuskan kita mengkaji ulang sikap menganggap berita Hageman itu hanya
"petai hampa". Tampaknya cukup banyak naskah yang menunjang pendapat Hageman
dan itu dapat diartikan bahwa Hageman sebenarnya tidaklah mengada-ada.
Hampir dapat dipastikan bahwa sebenarnya Hageman menggunakan naskah (dan
tampaknya juga cerita rakyat serta tradisi lisan) dalam tulisannya itu.
Tatar Sunda abad ke-14
Naskah Carita Parahyangan (CP) yang diduga dituliskan segera setelah Negara
Sunda atau Pajajaran jatuh dalam tahun 1579, hingga saat ini dapat dianggap
sebagai berita sejarah yang cukup berbobot karena "kebenaran" embarannya
banyak yang sesuai dengan embaran dari sumber lain. Tokoh Sena dan Sanjaya,
misalnya, oleh para ahli dianggap sama dengan tokoh Sanna dan Sanjaya pada
prasasti Sthirengga dari tahun 732. Demikian juga halnya dengan tokoh-tokoh
lain, baik dari masa yang lebih awal maupun dari masa yang lebih akhir.
Pengetahuan penulis CP mengenai tokoh, peristiwa, dan ihwal sejarah dari
masa yang jauh terpaut dari masa penulisannya, tentulah diperoleh dari
berbagai sumber yang sudah dikenal pada masa itu. Mengenai masa yang lebih
muasir, hampir dapat dipastikan bahwa penulis (atau yang menyuruhtuliskan)
naskah itu, masih mengalami dan mengenai tokoh, peristiwa, dan ihwal yang
diabadikannya itu.
Dalam berbagai tempat, sejumlah embaran CP dapat dianggap sebagai kisah
sejarah yang menjelaskan isi prasasti Kawali, Kebantenan, dan Batutulis.
Dengan berbekal anggapan itu dapat diartikan bahwa berita CP mengenai Tatar
Sunda umumnya dan Tatar Priangan Timur khususnya, sampai batas tertentu
harus dianggap benar. Sebelum penelitian widyapurba dan widyakala (=
sejarah) mengenai Priangan Timur sampai pada tahap yang dapat dianggap
selesai, dengan "apa boleh buat" pemerian mengenai Priangan Timur hanya
dapat didasarkan pada bahan yang sangat terbatas itu.
Mengingat Hageman menyebutkan tahun 1337 sebagai tahun awal adanya orang
Islam di Tatar Sunda, uraian mengenai Tatar Sunda dalam tulisan ini pun
dibatasi pada keadaan Tatar Sunda selama abad ke-14. Naskah CP sedemikian
jauh hanya menyebutkan lama pemerintahan seorang raja; ia menggantikan siapa
dan digantikan oleh siapa. Namun mengenai beberapa orang raja, embarannya
dilengkapi keterangan yang agak panjang, baik mengenai si raja itu maupun
mengenai keadaan masyarakatnya. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa raja-raja
tertentu itu memiliki peranan yang "lebih" dibandingkan dengan raja lainnya.
Keterangan yang agak lengkap mengenai raja-raja yang berkuasa itu, antara
lain ditemukan dalam naskah-naskah karya "Panitia Wangsakerta" (NPW) dari
Cirebon (1677-1698). Karena dalam tulisan ini kesaksian naskah-naskah itu
digunakan terutama sebagai penguat CP, untuk sementara tidak dipersoalkan
apakah naskah-naskah itu asli atau salinan dari masa yang lebih kemudian.
Selama abad ke-14, Sunda diperintah oleh delapan orang raja. Di antara
mereka ada yang berkuasa di seluruh wilayah Negara Sunda yang terdiri atas
"Sunda Barat" (Sunda atau Pajajaran) dan "Sunda Timur" (Galuh) dan ada yang
hanya berkuasa di salah satu wilayah itu. Mereka yang pernah berkuasa selama
abad ke-14 itu adalah:
Rakryan Saunggalah atau Prabu Ragasuci yang berkuasa selama enam tahun
(1297-1303). Penggantinya sebagai raja adalah anaknya, Prabu Citragandha
atau Sang Mokteng Tanjung 'yang Meninggal di Tanjung' yang berkuasa selama
delapan tahun (1303-1311). Ia digantikan anaknya, Prabu Linggadewata atau
Sang Mokteng Kikis 'Yang Meninggal di Kikis' yang berkuasa selama 22 tahun
(1311-1333).
Karena anaknya perempuan, Linggadewata kemudian digantikan oleh menantunya,
Prabu Ajiguna Linggawisesa atau Sang Mokteng Kiding 'Yang Meninggal di
Kiding' selama tujuh tahun (1333-1340). Anak Linggadewata yang diperistrinya
itu bernama Rimalestari dan perkawinan mereka melahirkan Prabu Ragamulya
Luhurprabawa atau Sang Aki Kolot yang kemudian menggantikannya sebagai raja
selama 10 tahun (1340-1350). Setelah meninggal dan dikenal sebagai Salumah
ing Taman 'Yang Meninggal di Taman', ia digantikan anaknya yang bernama
Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa atau Sang Mokteng Bubat 'Yang Meninggal
di Bubat' selama tujuh tahun (1350-1357).
Karena anak Linggabhuwana masih kecil, kekuasaan dipegang oleh adiknya,
Patih Mangkubumi Suradipati, yang setelah menjadi raja bergelar Sang Prabu
Bunisora, selama 14 tahun (1357-1371). Setelah meninggal dan terkenal
sebagai Sang Mokteng Gegeromas 'Yang Meninggal di Gegeromas', ia digantikan
oleh anak Linggabhuwana yang bernama Niskala Wastukancana. Raja itu
terhitung tokoh yang "bernafas panjang", pemerintahannya berlangsung selama
104 tahun (1371-1475).
Prabu Niskala Wastukancana atau Prabu Resi Bhuwana Tunggaldewata atau Sang
Mokteng Nusalarang" 'Yang Meninggal di Nusalarang' itulah yang tampaknya
dikenal sebagai raja dengan julukan Prabu Siliwangi yang pertama. Menurut
NPW, semua Raja Sunda setelah Raja Linggabhuwana dikenal dengan julukan
Prabu Siliwangi. Niskala Wastukancana mempunyai dua orang istri dan dari
setiap istri lahir anak laki-laki. Akibatnya, ia terpaksa membagi negaranya
menjadi dua.
Jika dugaan Hageman benar, berarti bahwa kemunculan orang Islam yang pertama
di Sunda itu terjadi pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa
(1333-1340). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil, mengingat
hingga saat ini bukti tertua mengenai tinggalan budaya yang bercorak Islam
di Leran (Jawa Timur), yaitu nisan Fatimah binti Maimun, bertitimangsa 1081.
Masalahnya adalah hingga sekarang bukti demikian itu di wilayah Sunda belum
ditemukan.
Naskah CP tidak banyak mengembarkan tokoh itu. Dalam naskah itu ia hanya
disebut sebagai raja yang berkuasa selama 10 tahun dan setelah meninggal
dikenal sebagai Salumah ing Kiding 'Yang Meninggal di Kiding'. Julukan itu
tentulah sama dengan Sang Mokteng Kiding menurut NPW.
Menurut tradisi rakyat Sunda, raja terbesar kerajaan Pajajaran adalah Prabu
Siliwangi. Menurut beberapa peneliti sejarah dan kesundaan, nama itu adalah
julukan yang diberikan kepada Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran yang
memerintah semala 39 tahun (1482-1521). Tokoh itu adalah tokoh yang dalam CP
dikenal dengan nama Jayadewata. Dalam hal itu, di beberapa daerah juga
terdapat tradisi yang menganggap Prabu Siliwangi bukan hanya raja terbesar,
melainkan juga raja terakhir.
Anggapan itulah yang sebenarnya merupakan kesalahan utama orang Sunda dengan
tradisinya itu. Berdasarkan CP dan sejumlah sumber lain dapat diketahui
bahwa Kerajaan Pajajaran runtuh dalam tahun 1579 karena diserang oleh Banten
yang sudah Islam. Jika Siliwangi adalah raja terakhir, tentulah harus
ditafsirkan bahwa sesudah Siliwangi tidak ada lagi kerajaan bernama
Pajajaran, termasuk para raja yang memerintahnya. Namun, hampir dalam semua
cerita pantun dikisahkan perjalanan dan petualangan para putra Prabu
Siliwangi keluar dari istana Pajajaran dalam usaha meluaskan wilayah
kekuasaan Pajajaran. Itu berarti bahwa peluasan itu justru baru berlangsung
pada masa akhir hayat Pajajaran. Bagaimana mungkin semua itu terjadi?
Sejumlah cerita pantun memberikan kemungkinan untuk kita melakukan pelacakan
tokoh Prabu Siliwangi itu. Bahkan, naskah-naskah yang digunakan Mohammad
Amir Sutaarga (MAS) dalam kajiannya (1965, 1986), sebenarnya dapat sangat
membantu usaha pelacakan itu. Setelah mengkaji sejumlah naskah (Ceritera
Prabu Anggalarang, Babad Siliwangi, Babad Pajajaran, Wawacan Carios Prabu
Siliwangi), MAS berhasil menyusun sebuah garis kisah Siliwangi. Yang
terpenting untuk kajian sejarah adalah simpulannya nomor 1 (Prabu Siliwangi
adalah putra Prabu Wangi atau Prabu Anggalarang) dan nomor 5 (Prabu
Siliwangi tidak segera menggantikan Prabu Anggalarang sebagai raja
Pajajaran, melainkan melalui seorang raja atau kepala pemerintahan
sementara).
Melalui pernyataan itu, secara tidak langsung MAS menolak anggapan bahwa
Siliwangi adalah raja terakhir. Namun, ia tetap berpegang pada anggapan
bahwa Raja Pajajaran yang terbesar adalah Sri Baduga Maharaja atau
Jayadewata dan karenanya ia menyimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri
Baduga Maharaja.
Dalam hal itu, tradisi masyarakat Sunda menyatakan bahwa dua orang anak
Prabu Siliwangi, Walangsungsang dan Larasantang, pergi ke Mekah dan di sana
bertemu dengan Baginda Ali. Setelah itu Walangsungsang kembali ke Cirebon,
sedangkan adiknya kawin dengan raja (sekurang-kurangnya bangsawan) Mesir.
Perkawinan itu melahirkan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah
seorang yang termasuk walisanga, penyebar Islam yang awal di Jawa. Di bidang
pemerintahan, Syarif Hidayat diangap sebagai raja pertama Caruban atau
Cirebon karena uwaknya (Walangsungsang) hanya menjadi kuwu 'lurah'.
Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) karya Pangeran Arya
Carbon (1720), Syarif Hidayat lahir dalam tahun 1448 dan tiba di Cirebon
dalam tahun 1470. Walangsungsang tidak lama kemudian menyerahkan
kepemimpinan Cirebon kepadanya. Dalam hal itu, berdasarkan pengulangbinaan
berbagai sumber yang ada, disepakati bahwa Jayadewata atau Sri Baduga
Maharaja baru naik tahta dalam tahun 1482. Padahal, baik Walangsungsang
maupun Larasantang adalah anak Prabu Siliwangi dan tentu saja Syarif Hidayat
adalah cucunya.
Barangkali naskah CPCN dapat sangat berguna untuk melacak sosok Siliwangi
lebih mendalam. Menurut CPCN, Nyai Subanglarang, anak penguasa Cirebon pada
waktu itu kawin dengan Prabu Siliwangi dari Pajajaran dalam tahun 1422 dan
melahirkan tiga anak, yaitu Walangsungsang, Larasantang, dan Rajasengara.
Penguasa bandar Cirebon yang dikatakan sudah beragama Islam itu adalah
saudara ayahnya Siliwangi. Dengan demikian, Siliwangi kawin dengan seorang
perempuan Muslim walaupun ia sendiri tetap memeluk agamanya yang asli,
Hindu.
Jikalau embaran CPCN benar, haruslah diartikan bahwa Siliwangi dalam tahun
1422 sudah menjadi raja di Pajajaran. Hal itu berarti bahwa ia harus sudah
dilahirkan sekurang-kurangnya beberapa tahun sebelumnya. Berdasarkan nama
raja dan lama pemerintahnnya seperti yang tercantum dalam CP, dapat
dipastikan bahwa raja yang berkuasa pada masa itu adalah Niskala
Wastukancana (1371-1475).
Penyesuaian yang dapat dilakukan berdasarkan CPCN, CP, NPW, naskah lain, dan
berbagai cerita pantun tampaknya mengarah ke sana. Menurut MAS, Siliwangi
tidak segera menggantikan ayahnya, Prabu Anggalarang karena ada tokoh lain
yang berkuasa sebagai raja atau kepala pemerintahan perantara selama 14
tahun. Tokoh itu adalah yang menurut CP bernama Hyang Bunisora atau
mangkubumi Suradipati dalam NPW, paman Niskala Wastukencana. Dengan
demikian, Prabu Anggalarang atau Prabu Wangi dalam tradisi itu, adalah Prebu
Maharaja atau Prebu Wangi menurut CP, yaitu Prabu Linggabhuwana atau Sang
Mokteng Bubat menurut NPW.
Dengan demikian, dugaan Hageman barangkali dapat diterima walau barangkali
titimangsa yang sangat pasti itu untuk sementara tidak usah terlalu diyakini
kebenarannya. Namun, masa menjelang pertengahan abad ke-14 itu jelas sekali
sesuai dengan masa muda Prebu Maharaja yang naik tahta dalam tahun 1350.
Juga sesuai dengan kisah cerita pantun yang masih memberikan peluang kepada
para putra Prabu Siliwangi untuk meluaskan daerah dan kekuasaan kerajaan
Pajajaran. Lain halnya, kalau Prabu Siliwangi dianggap julukan Sri Baduga
Maharaja.
Dengan menyesuaikan Prabu Siliwangi (yang pertama) dengan Niskala
Wastukancana, berbagai hal yang berkenan dengan mulai masuknya pengaruh
Islam ke Tatar Sunda dapat dipahami. Siliwangi yang lahir dalam tahun 1348
(ketika peristiwa Bubat terjadi ia berumur 9 tahun), naik tahta tahun 1371
dalam usia 23 tahun. Dalam tahun 1422 ia kawin dengan gadis Cirebon dan
dalam tahun 1448 cucunya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, lahir.
Siliwangi meninggal tahun 1475 dalam usia yang sangat lanjut (127 tahun),
kemudian digantikan oleh anaknya, Ningratkancana atau Dewa Niskala selama 7
tahun (1475-1482).
Dalam hal itu, NPW dengan pasti menyebutkan bahwa tokoh Muslim pertama yang
dikenal sebagai Haji Purwa itu, nama aslinya adalah Bratalegawa. Ia adik
Linggabhuwana dan berarti paman Niskala Wastukancana. Karena ia seorang
Muslim, ia memilih berdiam di Carbon Girang dan menjadi penyebar ajaran
Islam. Naskah itu juga menyebutkan tahun 1337 sebagai titimangsa
keberadaannya di Carbon Girang. Hal itu tentu saja menjadikan pertanyaan,
apakah tidak mungkin Hageman sebenarnya sudah membaca NPW yang berasal dari
akhir abad ke-17 itu?
Jika dugaan itu dapat diterima, berarti Islam sudah mulai tumbuh di Tatar
Sunda sejak paruh awal abad ke-14. pangkalannya yang pertama adalah Bandar
Cirebon yang pada masa itu masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda.
Karena pertalian darah dengan para penyebar Islam yang pertama itu, raja
Sunda yang beragama Hindu tidak sampai hati untuk melarang rakyatnya yang
bermaksud pindah agama.
Dengan demikian, mereka yang sudah memeluk Islam merasa leluasa untuk
menyebarkan ajaran Islam dengan lebih gencar. Lebih-lebih setelah tiba Seh
Kuro yang mendirikan pesantren di Karawang dan Seh Datuk Kahfi menjadi guru
agama di Cirebon.
Pesisir utara Tatar Sunda bagian timur boleh dikatakan menjadi pangkalan
penyebaran Islam. Hal itu tidak bertentangan dengan embaran Tome Pires
(1512) yang menyatakan bahwa Cirebon adalah sebuah kota Muslim. Sementara di
Cimauk yang masih dikuasai Sunda sudah banyak penduduknya yang beragama
Islam.
Namun semua itu belum pasti. Masih diperlukan dukungan bukti sejarah melalui
penelitian yang saksama. Itu tugas kita semua (yang merasa terpanggil dan
merasa wajib terlibat dalam kegiatan penelitian itu).***
IGBN Makertihartha
Department of Chemical Engineering
Institut Teknologi Bandung
Hindu-Dharma mailing list
Hindu-Dharma@itb.ac.id
http://mx1.itb.ac.id/mailman/listinfo/hindu-dharma
|